BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sungai
merupakan salah satu bentuk ekosistem lotik (perairan mengalir) yang berfungsi
sebagai media atau tempat hidup organisme makro maupun mikro, baik itu yang
menetap maupun yang dapat berpindah-pindah (Maryono, 2005). Organisme yang
hidup dalam badan air ini adalah organisme yang memiliki kemampuan beradaptasi
terhadap kecepatan arus atau aliran air (Susanto dan Rochdianto, 2008).
Selain berfungsi
sebagai media kehidupan, sungai juga berperan sebagai tempat pembuangan dari
semua limbah kegiatan manusia seperti limbah dari daerah pemukiman, pertanian,
perikanan, pariwisata dan industri yang ada di sekitarnya (Mahida, 1984).
Adanya masukan dari limbah di atas akan dapat merubah sifat fisika, kimia dan biologi dari ekosistem sungai.
Perubahan tersebut dapat menurunkan kualitas air dan mengganggu tatanan
kehidupan organisme di dalam sungai (Odum, 1998).
Melihat kecendrungan peningkatan pencemaran yang terjadi di
perairan, maka pengkajian kualitas perairan baik kualitas fisik-kimia maupun
biologi perairan pelu dilakukan. Pengkajian kualitas biologi berperan penting
karena fungsi akumulatifnya yang dapat mengantisipasi perubahan lingkngan.
Komponen biologi yang dijadikan dasar kajian adalah organisme makrozoobentos. Makrozoobentos
berperan sebagai mata rantai makanan dalam ekosistem perairan. Ditinjau dari
level tropik makrozoobentos menduduki level konsumen pertama dan kedua dan pada
akhirnya dimakan oleh konsumen yang lebih tinggi, seperti ikan. Selain itu
hewan bentos berperan dalam siklus nutrien terutama dalam proses awal dari
dekomposisi material organik (Goldman and
Horne, 1983; Izmiarti dan Dahelmi, 1999). Makrozoobentos juga dapat digunakan
sebagai hewan indikator dalam menilai kondisi lingkungan perairan (Ogbeibu and Oribhabor, 2002)
Lind (1979) menyatakan
bahwa makrozoobentos adalah hewan invertebrata yang hidup di dasar perairan.
Makrozoobentos sungai termasuk hewan yang hidup relatif menetap di dasar sungai
baik sungai mengalir kencang atau lambat. Hewan ini dapat merespon masukan
bahan yang terus-menerus ke dalam sungai. Oleh karena itu, komposisi dan
struktur komunitas makrozoobentos yang hidup dalam sungai merupakan hasil
adaptasinya terhadap perubahan kualitas air yang terjadi di dalam sungai
tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah :
1. Bagaimana konsep dasar dari Bioindikator?
2. Mengapa Makrozoobentos bisa di
jadikan Bioindikator?
3. Apa saja Faktor – faktor yang
mempengaruhi keberadaan Makrozoobentos?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan
makalah ini adalah untuk menjelasakan pengelolaan sungai dengan menggunakan
Makrozoobentos sebagai Bioindikator Kualitas Perairan
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan
makalah ini sebagai berikut :
1. Merupakan
suatu kerangka acuan untuk melanjutkan proposal penelitian tentang Pengelolaan
Sungai menggunakan Makroobentos Sebagai Bioindikator
2. Memberikan
wawasan tentang fungsi Makrozoobentos sebagai Indikator Biologi untuk
mengindikasikan apakah perairan tersebut khususnya sungai tersebut tercemar
atau tidak.
3. Memberikan
pengetahuan seputar Makrozoobentos dan peranannya di perairan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Ekosistem Sungai
Sungai merupakan salah
satu bentuk ekosistem lotik (perairan mengalir) yang berfungsi sebagai media
atau tempat hidup organisme makro maupun mikro, baik itu yang menetap maupun
yang dapat berpindah-pindah (Maryono, 2005).
Sesuai dengan konsep kontinum
(Vannote et al. 1980), sungai merupakan badan air yang kontinum, keadaan
di bagian hilir merupakan kelanjutan dari kejadian-kejadian di bagian hulunya.
Suatu sungai dapat mengambarkan perubahan struktur dan fungsi komunitas
sepanjang sungai sehingga terjadi perubahan gradien dari hulu hingga ke hilir.
Daerah aliran sungai
(DAS) yang menjadi bagian dari perairan umum merupakan suatu wilayah dataran
yang menampung dan menyimpan air hujan yang kemudian mengalirkannya ke laut
melalui satu sungai utama. Pengertian sungai itu sendiri adalah perairan yang
airnya mengalir pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan, dan atau
air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut, sungai atau perairan terbuka yang
luas. Air tawar secara terus menerus mengalami siklus hidrologi dimana siklus
hidrologi ini bergantung pada proses evaporasi dan presipitasi, begitu juga
sungai yang sumbernya berasal dari air hujan yang mengalir sebagai air
permukaan atau air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi ke badan
air (Jeffries & Mills 1996).
Pada sungai biasanya
terjadi percampuran massa air secara menyeluruh, tidak terbentuk stratifikasi
vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Kecepatan arus, erosi dan
sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga kehidupan
flora dan fauna pada sungai sangat di pengaruhi oleh ketiga variabel tersebut.
Intensitas cahaya dan perbedaan suhu air sangat berperan pada pengklasifikasian
perairan lentik, sedangkan pada perairan lotik justru kecepatan arus atau
pengerakan air, jenis sedimen dasar, erosi dan sedimentasi yang paling berperan
(Jeffries & Mills 1996).
Sifat-sifat ekosistem
lotik secara fundamental diatur oleh laju aliran. Pada aliran dengan kecepatan
lebih dari 50 cm/detik, dasar sungai terdiri partikelpartikel yang lebih besar,
sehingga sungai akan memiliki dasar yang keras dan mungkin berbatu. Pada aliran
dengan kecapatan dibawah 50 cm/detik terdiri dari partikel-partikel yang lebih
kecil sehingga dasar sungai menjadi lembut dan berpasir atau berlumpur. Hal
yang menonjol dari ekosistem akuatik mengalir adalah yang berkaitan dengan
pergerakan airnya. Pergerakan air tersebut umumnya dinyatakan dengan derajat
kecepatan aliran sungai (arus) meter/detik (Basmi 1999).
Baik kecepatan arus
maupun volume aliran air akan meningkat semakin ke hilir sungai. Faktor yang
penting berpengaruh terhadap komunitas biota adalah turbulensi atau pergerakan
air atau partikel air yang tidak menentu dan pergerakan partikel yang paralel
satu sama lainnya disebut aliran laminar, yang sangat kontras dengan pergerakan
air yang irreguler atau tak beraturan. Pada bagian sungai yang terkena aliran turbulen
yang tinggi, erosi akan terjadi dengan cepat, disamping itu turbulensi yang
keras (tinggi) akan efektif mengikis dan mengangkat sedimen di dasar sungai dan
daya absorbsi (difusi) permukaan air untuk menyerap oksigen (gas-gas di udara)
ke dalam air semakin kecil. Sebaliknya bagian sungai yang terkena aliran
laminar, erosi sangat kecil, pengikisan sedimen dasar sungai sedikit, konsentrasi
oksigen terlarut relatif rendah, bila dibandingkan dengan zona sungai yang
terdapat aliran turbulen (Basmi 1999).
Ciri khas sebuah sungai
di mulai daerah bagian hulu yang biasanya berawal dari dataran tinggi yang
hanya berupa parit kecil, aliran deras, air dingin, dan pergerakan air secara
turbulen, mempunyai hidrograf aliran dengan puncakpuncak yang tajam sewaktu
mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage), gradien hulu
sungai cukup curam dan sangat aktif mengikis air secara turbulen. Dasar sungai
terdiri batuan. Semakin jauh ke hilir, sungai tersebut akan menyatu dengan
anak-anak sungai (Basmi 1999).
Aliran sungai akan
menjadi lambat ketika menjelang dan memasuki dataran pantai. Di dekat muara
ini, luar sungai akan terisi dengan pasir. Daya pancar masa air disini menjadi
lebih besar, karena sungai tersebut telah menampung air dari banyak anak
sungai, dan daerah ini akan menjadi lebih dalam. Meskipun demikian, airnya
menjadi sangat keruh, karena di sini terdapat partikel-partikel tersuspensi
yang sangat halus yang berasal dari bahan organik sekitar sungai yang masuk ke
sungai karena terbawa aliran air permukaan tanah. Di dekat muara aliran
turbulen ini sudah sangat lemah, cenderung berganti menjadi aliran laminar dan
terakhir air sungai memasuki laut dan zona ini disebut zona transisi atau
estuaria (Basmi 1999).
Air mengalir atau
habitat lotik berasal dari kata lotus berarti tercuci, aliran air pada habitat
lotik ini terdapat dua zona utama yaitu :
1. Zona
air deras : daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi aliran
airnya deras dan turbulen, baik organisme maupun partikel sedimen tidak mampu
melekat atau terendap di dasar perairan karena akan tersapu oleh arus sehingga
dasarnya padat. Substrat sungai terdiri batu-batu atau koral yang merupakan
pecahan atau potongan-potongan bulat yang licin karena terkikis oleh air dan
habitatnya beraneka ragam. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus
atau organisme perifiton yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada
dasar sungai yang padat dan oleh ikan yang kuat berenang misalnya darter (Basmi
1999).
2. Zona
air tenang (lambat) : bagian air yang dalam dimana kecepatan arus sudah
berkurang, aliran airnya lambat dengan aliran partikel laminar, daya erosi
berkurang, partikel-partikel sedimen sangat halus seperti lumpur dan materi
lepas cenderung mengendap di dasar perairan, sehingga dasarnya lunak, tidak
sesuai untuk bentos permukaan. Organisme yang hidup di dasar sungai berlumpur
antara lain sowbug (Isopoda), keong, mayfly dan aniad damselfly. Fauna lainnya
tinggal di dalam sedimen dengan menggali lubang seperti, naiad mayfly dan
beberapa larva insekta lainnya seperti kerang, nematoda, siput (Basmi 1999).
2.2 Konsep Dasar Bioindikator
Bioindikator adalah
organisme yang yang menunjukkan sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga
memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Menurut
Wittig (1993), diacu dalam
Mhatre
& Pankhurst (1996) bioindikator adalah organisme, bagian dari suatu organisme atau
masyarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan informasi
tentang kondisi lingkungan baik sebagian atau keseluruhan sedangkan McGeoch (1998)
mendefinisikan bioindikator sebagai spesies atau kelompok spesies yang
secara cepat dapat menggambarkan kondisi lingkungan baik abiotik maupun
biotik; menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat,
komunitas atau ekosistem; atau mengindikasikan keragaman dari kelompok
takson, atau keragaman secara keseluruhan di dalam suatu kawasan.
Bioindikasi menurut
McGeoch (1998) dalam aplikasinya dikelompokkan ke
dalam tiga kategori yaitu:
1. Indikator
lingkungan (Enviromental indicator) adalah spesies atau kelompok spesies
yang tanggap terhadap lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi lingkungan.
Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5 yaitu sentinels, detektor,
eksploiter, akumulator dan bioassay organisme.
2. Indikator
ekologis (Ecological indicator) yaitu karakteristik takson atau kelompok
yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan, yang
menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan tanggapannya
diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut.
3. Indikator
keanekaragaman hayati (Biodiversity indicator) adalah kelompok takson
atau kelompok fungsional dimana keragamannya dapat menggambarkan beberapa
ukuran tentang keragaman kekayaan jenis, kekayaan sifat dan endemisitas) takson
di atasnya dalam sebuah habitat atau kelompok habitat. Indikator biodiversitas
dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan
kelompok focal.
Bioindikasi dapat
meliputi beberapa variasi skala dari aspek makro molekul, sel, organ,
organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem), sehingga bentuk
bioindikasi meliputi: (1) reaksi biokimia dan fisiologis, (2) penyimpangan bentuk
anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normalnya, (3)
perubahan floristik, faunistik, populasi secara berurutan (kronologis), (4) perubahan
ekosistem ataupun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan fungsi
ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst 1996).
Tipe indikator secara umum dibedakan
menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Indikator
(kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan lingkungan, secara
kuantitatif jarang).
2. Spesies
uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang luas, spesies uji
umumnya memiliki standarisasi yang tinggi),
3. Monitor
(menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan kuantitatif biasanya
mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif yang tersedia
dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di introduksi).
Monitor pasif terdiri dari reaktor (tanggapannya adalah perubahan fungsi atau
reaksi) dan akumulator responnya di amati dari akumulasi polutan (Hornby &
Bateman 1996).
Pengembangan sistem
bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal balik antara faktor
lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik parameter biologis tersebut
diantara adalah komposisi jenis, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang
terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1996).
Efektivitas suatu bioindikator tergantung pada kekuatan hubungan antara faktor
lingkungan dan parameter biologis. Faktor lingkungan mempengaruhi parameter
biologis melalui beberapa hubungan kausatif. Ketika parameter biologis dijadikan
sebagai indikator, dapat dilihat sebagai kebalikan dari hubungan sebab akibat
(Straalen 1996).
Kriteria umum untuk
menetapkan suatu organisme digunakan sebagai indikator adalah: (1) Takson yang
tinggi atau lebih tinggi, dipilih takson yang telah diketahui secara detail dan
taksonominya jelas dan mudah untuk di identifikasi; (2) Biologi organisme
tersebut di ketahui dengan baik, memiliki respon yang baik terhadap faktor
tekanan atau perubahan sifat habitat; (3) Organisme tersebut tersedia secara melimpah,
mudah di survei dan di manipulasi; (4) Terdistribusi dalam ruang dan waktu; dan
(5) Berkorelasi kuat dengan komunitas keseluruhan atau tidak berkorelasi kuat
dengan faktor tekanan (Hordkinson & Jackson 2005).
2.3 Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
a. Organisme
Makrozoobentos
Bentos
adalah organisme yang hidup di permukaan atau dalam substrat
dasar
perairan yang meliputi organisme nabati yang disebut fitobentos dan
organisme
hewani yang disebut zoobentos. Pada umumnya zoobentos adalah
makro
invertebrata yang meliputi insekta, mollusca, oligochaeta, crustacea dan
nematoda
(Cummins 1975). Sebaran vertikal bentos terbagi menjadi epifauna
yaitu
organisme yang hidup di atas permukaan dasar substrat perairan dan
infauna
yaitu organisme yang hidup di dalam dasar substrat perairan.
Gambar 1. Makrozoobentos
yang hidup di atas dan di dalam substrat dasar
perairan
(Cummins 1975).
Menurut Vernberg 1981,
diacu dalam Fachrul (2007) menggolongkan bentos berdasarkan ukurannya ke dalam
tiga golongan yaitu :
1. Makrobentos
adalah bentos yang tersaring oleh saringan yang berukuran saringan 1,0 x 1,0
milimeter atau 2,0 x 2,0 milimeter, yang pada pertumbuhan dewasanya berukuran 3
– 5 milimeter.
2. Meiobentos
adalah bentos yang berukuran antara 0,1 – 1 mm misalnya golongan Protozoa yang
berukuran besar (Cnidaria), cacing ukuran kecil.
3. Mikrobentos
adalah bentos yang berukuran kurang dari 0,01 mm – 0,1 mm misalnya Protozoa.
Menurut Jeffries &
Mills (1996), makrozoobentos dapat dibedakan dalam empat golongan berdasarkan
kebiasaan makannya yaitu :
1. Perumput
(grazer) dan pengikis (scraper) yaitu herbivora pemakan alga yang
tumbuh melekat pada substrat.
2. Pemarut
(shredder), yaitu detrivora pemakan partikel ukuran besar
3. Kolektor
(collector) yaitu detrivora pemakan partikel halus baik yang berupa suspensi
dan berupa endapan.
4. Predator
yaitu berupa hewan karnivora.
Berdasarkan cara
makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Filter
feeder adalah hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring
makanan
2. Deposit
feeder adalah yang mengambil makanan dalam substrat dasar kelompok
pemakan deposit banyak terdapat pada substrat berlumpur seperti jenis-jenis
cacing Polychaeta (Setyobudiandi 1997).
Kelimpahan
makrozoobentos di suatu perairan di pengaruhi oleh faktorfaktor yang meliputi
faktor fisika, kimia, dan faktor biologi. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah suhu pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan adanya interaksi
dengan organisme lain (Odum 1971). Tingkat keanekaragaman bentos yang terdapat
di lingkungan perairan tertentu merupakan cerminan variasi daripada
toleransinya terhadap kisaran-kisaran parameter lingkungan. Dengan adanya
kelompok bentos yang hidup menetap (sessile) dan daya adaptasi bervariasi
terhadap kondisi lingkungan, membuat hewan bentos seringkali digunakan sebagai
petunjuk bagi penilaian kualitas air. Kehadiran spesies toleran dan
ketidak-hadiran spesies yang tidak toleran dapat digunakan sebagai petunjuk
terjadinya pencemaran. Dennis & Patil (1977) menyatakan bahwa kelompok
organisme yang merasakan langsung pengaruh perubahan lingkungan adalah
makrozoobentos, karena pada umumnya makrozoobentos tidak berpindah tempat.
Perubahan kondisi fisika dan kimia lingkungan akan menghasilkan perubahan pada komunitas
makrozoobentos. Organisme yang toleran terhadap perubahan lingkungan pada
akhirnya akan tumbuh dan berkembang karena tidak terdapat kompetisi baik dalam
ruang maupun makanan, sehingga jumlah organisme tersebut akan melimpah,
sedangkan organisme yang tidak toleran terhadap perubahan lingkungan, kemampuan
untuk tumbuh, bereproduksi dan
berkompetisi dalam komunitas akan
terganggu. Gangguan yang berkelanjutan pada organisme akan menghasilkan
perubahan pada struktur komunitas.
Tabel 1 Struktur komunitas makrozoobentos pada
berbagai kondisi perairan
Keadaan Perairan
|
Struktur Komunitas Makrozoobentos
|
|
Tidak tercemar
|
Tidak ada satu pun spesies yang dominan,komunitas
makrozoobentos seimbang dengan beberapa populasi intoleran yang diselingi beberapa populasi falkultatif.komunitas |
|
Tercemar moderat
|
Banyak spesies intoleran yang hilang atau berkurang
dan berbagai spesies fakultatif dengan satu atau dua spesies dari kelompok toleran yang mendominasi. |
|
Tercemar
|
Jumlah spesies dari komunitas makrozoobentos yang
terbatas, diikuti berkurangnya kelompok toleran dan fakultatif. Jumlah spesies toleran akan melimpah. |
|
Tercemar Berat
|
Hampir seluruh komunitas makrozoobentos hilang
kecuali cacing oligochaeta dan kelompok yang bernafas ke udara. Seluruh kehidupan mungkin saja hilang. |
|
Sumber : Wilhm (1975)
Berdasarkan kepekaannya
terhadap bahan pencemar. Gauffin (1958), diacu dalam Wilhm (1975) membagi makrozoobentos
menjadi tiga golongan yaitu : intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme
intoleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi
lingkungan yang sempit terhadap pencemaran, dan tidak tahan terhadap tekanan
lingkungan sehingga hanya hidup pada perairan yang belum tercemar dan miskin
bahan organik. Organisme fakultatif adalah organisme yang dapat hidup dalam
kisaran toleransi lingkungan yang agak luas, meskipun dapat hidup dalam
perairan yang kaya bahan organik dan perairan yang tercemar ringan sampai
dengan pencemaran sedang, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan.
Organisme toleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran
toleransi lingkungan yang luas sehingga mampu berkembang mencapai kepadatan tertinggi
dalam perairan yang tercemar sedang maupun tercemar berat. Oleh karena itu
untuk mengetahui kehadiran atau ke tidak hadiran organisme pada lingkungan
perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat kualitas
suatu habitat. Beberapa spesies yang termasuk golongan intoleran, fakultatif
dan toleran yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa contoh makrozoobentos berdasarkan
kepekaannya terhadap
bahan pencemar
Status
|
Jenis Makrozoobentos
|
Gambar
|
Intoleran
|
Ephemera (lalat
sehari), Acroneuria (lalat batu), Chimarra, Mesovelia (kepik), Helichus
(kumbang), Anopheles (nyamuk).
|
|
|
||
Fakultatif
|
Stenonema (lalat
sehari), Taeniopteryx (lalat batu), Hydropsyche, Agrion, Corydalus (lalat),
Agabus (kumbang), Chironomous, Helodrilus (cacing Oligochaeta).
|
|
|
||
Toleran
|
Chironomous (sejenis
nyamuk), Limnodrillus, dan
Tubifex (cacing Oligochaeta) |
|
|
Sumber
: Gaufin 1958, diacu dalam Wihlm (1975).
Pada perairan yang
masih bersih menunjukkan keseimbangan komunitas makrozoobentos ditandai dengan
adanya spesies intoleran yang bercampur dengan spesies fakultatif, dimana tidak
ada spesies yang dominan. Pada perairan yang tercemar sedang, organisme intoleran
mulai berkurang jumlahnya. Pada perairan tercemar dimana bahan organiknya
tinggi tidak ditemukan lagi spesies intoleran dan fakultatif, yang ditemukan
hanyalah organisme toleran, bahkan pada perairan yang tingkat pencemarannya
sudah berat dapat menyebabkan hilangnya semua spesies makrozoobentos kecuali
cacing atau organisme yang mengambil oksigen dari udara dan pada akhirnya tidak
ditemukan lagi adanya kehidupan di perairan tersebut (Wilhm 1975). Setiap
spesies mempunyai respon yang spesifik terhadap perubahan lingkungan.
makrozoobentos dari spesies Tubifex sp dan Melanoides tuberculata
merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) rendah dan partikel tersuspensi
tinggi pada ekosistem perairan sungai (Sastrawijaya 1991).
Beberapa tingkat
pencemaran bahan organik dalam air tawar dan makrozoobentos yang terkait
sebagai indikator biologi menurut Sastrawijaya (1991) :
1. Limbah
organik yang sangat pekat (oksigen terlarut pada taraf nol) makrozoobentos yang
ada hanya golongan cacing dari genus Tubifex dan Limnodrillus
2. Jika
kondisi air lebih baik, maka makrozoobentos dari golongan cacing tersebut yang
diikuti oleh larva Chironomous (cacing darah);
3. Pada
zona air yang sudah pulih spesies yang khas adalah Asellus aquaticus di
samping Chironomous, tetapi ada pula spesies lain seperti lintah dan
moluska tertentu setelah zona Asellus aquaticus, kondisi air pulih lebih
baik lagi terutama zona Gammarus. Zona ini mungkin dianggap sebagai zona
taraf pertama kembalinya fauna yang biasa terdapat di air bersih. Ciri zona Gammarus
adalah banyaknya keragaman jenis makrozoobentos termasuk Trichoptera dan Ephemeroptera
4. Taraf
kelompok hewan lain akan kembali yang bergantung pada tipe sungai atau hulu sungai.
Klasifikasi
makrozoobenthos yang didasarkan atas beban pencemaran bahan organik menurut
Untung et al., (1996) dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3.
Makrozoobentos indikator untuk menilai kualitas air.
Kelas
|
Kualitas Air (mg/l)
|
Makrozoobentos
Indikator
|
Gambar
|
1
(Tidak Tercemar)
|
DO : > 6
BOD : < 2
|
Cased Trichoptera : Sericosmatuidae,
Lepidosmatidae, Glossosomatidae,
Planaria
|
|
|
|||
2 (Tercemar Ringan)
|
DO : min. 6
BOD : 2,1 – 6,0
|
Plecoptera : Perlidae, Perlodidae
Ephermeroptera : Lepthoblebidae, Pseudocuelon, Ecdyonuridae,
Caenidae,
Non – Cased Trichoptera : Hydropsychidae, Psychomydae
Odonata :
Gomphidae,
Platycnemididae, Agriidae, Aeshnidae
Coleoptera :
Elminthiadae
|
|
|
|||
3 (Tercemar Sedang)
|
DO : min.3
BOD : 6,1 – 9,0
|
Non-Cased Trichoptera
Mollusca : Pulmonata (Siput)
Crustacea : Gammaridae
Odonata: Libellulidae, Cordulidae
|
|
|
|||
4 (Tercemar)
|
DO : min.1
BOD : 9,1 - 15
|
Hirudinea : Glossiphonidae, Hirudidae
Hemiptera : semua jenis
|
|
5 (Tercemar agak berat)
|
DO : 0 - 1
BOD : 15,1 -25
|
Oligochaeta : Tubificidae
Diptera : Chrionomous
thummi – plusmosus
Syrplidae
|
|
6
(Sangat Tecemar)
|
DO : 0
BOD :
> 25
|
Tidak terdapat makroinvertebrata, besar kemungkinan dijumpai
lapisan bakteri yang sangat toleran terhadap limbah organic (Sphacrotilus) di permukaaan air
|
|
Sumber
: Untung et.al.,1996
Tabel 3 diatas
menunjukkan kelas kualitas air yang meningkat nilainya dengan bertambahnya
beban pencemar organik. Kelas tersebut dapat diartikan pula sebagai tingkat
kepekaan makrozoobenthos terhadap kadar zat pencemar organik. Cara penilaian
kualitas air dengan menggunakan table diatas dilakukan dengan ketentuan berikut
(Untung., et al,1996 dalam Kadim, 2017) :
1.
air
sungai akan tergolong kelas 1, jika dan hanya terdapat makrozoobenthos
Tricoptera berselubung (cased) atau
Planaria; tanpa kehadiran jenis makrozoobenthos indikator yang terdapat pada
kelas 2-6
2.
Air sungai akan tergolong sebagai kelas
2, 3, 4, 5, dan 6 apabila terdapat salah satu atau campuran jenis makrozoobenthos
yang terdapat dalam kelompok kelas masing – masing.
3.
Apabila makrozoobenthos terdiri atas
campuran antara antara indikator dari kelas – kelas yang berlainan, maka
berlaku ketentuan sebagai berikut :
-
Air sungai dikategorikan sebagai kelas 2
apabila terdapat campuran indikator kelas 1 dan kelas 2, atau dari kelas 1, 2,
3.
-
Air sungai dikategorikan sebagai kelas 3
apabila terdapat campuran indikator dari kelas 2 dan 3, atau dari kelas 2, 3,
dan 4.
-
Air sungai dikategorikan sebagai kelas
4, apabila terdapat campuran indikator dari kelas 3 dan 4 atau dari kelas 3, 4,
dan 5.
B. Alasan Menggunakan Makrozoobenthos Sebagai
Bioindikator
Menurut Trihadiningrum (2007), adapun alasan
memilih makrozoobentos sebagai berikut :
1. Mudah
dalam sampling dibandingkan dengan jenis organisme akuatik yang lain.
2. Cenderung menetap / tidak berpindah tempat meskipun
terjadi perubahan kualitas air.
3. Masa hidupnya cukup panjang untuk merekam kualitas
air habitatnya.
4. Sangat
heterogen, karena terdiri atas berbagai taksa yang dapat memberikan reaksi atau
respon yang berbeda pada kualitas air yang berbeda.
5. Berbagai
taksa memiliki kepekaan yang berbeda dan sangat reaktif terhadap berbagai jenis
polutan.
6. Relatif mudah di Identifikasi dibandingkan jenis
organisme akuatik lainnya.
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan
Makrozoobentos
Struktur
komunitas makrozoobentos dipengaruhi berbagai factor lingkungan abiotik dan
biotik. Secara skematis, Hawkes (1979) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi
keberadaan hewan bentos di perairan. Sembilan diantaranya merupakan faktor
penentu kualitas perairan.
Tabel
3 Hubungan antara beberapa parameter fisika kimia air dengan kehidupan
makrozoobentos
Parameter
|
Penagaruh Terhadap Makrozoobentos
|
Parameter Fisika
|
|
Suhu
|
Metabolisme,
pertumbuhan dan mortalitas, migrasi
|
Arus
|
Jenis dan sifat
organisme
|
Substrat dasar
|
Jumlah dan Jenis
|
Muatan tersuspensi
|
Respirasi
|
Kekeruhan, TSS
|
Jumlah, Jenis dan
sifat organisme
|
Kedalaman
|
Jumlah jenis, jumlah
individu, biomassa
|
Pasang-Surut
|
Pola penyebaran
|
Parameter Kimia
|
|
Oksigen terlarut (DO)
|
Jumlah, jenis dan
mortalitas
|
pH
|
Menurunkan daya tahan
terhadap stress
|
BOD
|
Jumlah, Jenis,
komposisi jenis dan mortalitas
|
Amonia-N
|
Laju mortalitas
|
DHL
|
Stress fisiologis
|
Salinitas
|
Distribusi spesies
|
Sumber : Nybakken (1988).
2.4.1 Parameter Fisika
A. Suhu
Suhu merupakan pengatur
utama proses fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Suhu secara tidak
langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi
proses kehidupan organisme seperti pertumbuhan dan reproduksi dan penyebarannya.
Suhu dapat berperan sebagai faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup
dalam mengatur proses fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya. Suhu
suatu badan air dipengaruhi oleh musim, garis lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara, aliran serta kedalaman dari badan air. Cahaya
matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi
panas, proses penyerapan cahaya berlangsung lebih intensif pada lapisan sebelah
atas perairan sehingga lapisan ini akan lebih panas dan mempunyai densitas yang
lebih kecil dari pada lapisan bawahnya (Effendi 2000).
Kecepatan metabolisme
dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan konsumsi oksigen.
Peningkatan 10oC suhu perairan akan meningkatkan konsumsi oleh
organisme akuatik 2-3 kali lipat (Effendi 2000). Suhu yang layak untuk
kehidupan organisme air tawar berkisar antara 20 – 30oC dengan suhu optimum
berkisar antara 25 – 28oC (Huet dan Timmermans 1971,diacu dalam
Iskandar 2002), dimana suhu yang tidak lebih dari 30oC tidak akan berpengaruh
drastis terhadap makrozoobentos. Menurut Welch (1980) menyatakan bahwa pada suhu
antara 35 – 40oC merupakan lethal temperature bagi
makrozoobentos, artinya pada suhu tersebut organisme bentos telah mencapai
titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.
B. Kecepatan Arus
Arus adalah massa air
permukaan yang selalu bergerak, gerakan ini terutama ditimbulkan oleh angin yang
bertiup di atas permukaan air (Nybakken 1988). Arus merupakan faktor fisika
yang mempengaruhi kehidupan akuatik terutama organisme bentos.
Menurut Nybakken (1988)
organisme akuatik yang hidup menetap pada suatu substrat membutuhkan arus yang
dapat membawa makanan, oksigen, dan lain sebagainya. Arus yang kuat dapat
mengakibatkan ketidak seimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar
perairan berpasir atau berlumpur. Pergerakan air yan cukup lambat di daerah
berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus mengendap dan detritus melimpah,
hal ini merupakan media yang tidak baik bagi pemakan deposit (deposit feeder)
tapi pergerakan air pada daerah berpasir cenderung tidak ada sehingga fauna
yang memanfaatkan daerah seperti ini adalah filter feeder. Pada air
mengalir terdapat dua zona utama yaitu zona air deras dan zona air tenang. Zona
air deras merupakan daerah dangkal dengan arus yang deras yang menyebabkan
dasar sungai bersih dari endapan. Zona ini dihuni oleh bentos yang dapat
melekat kuat pada dasar substrat sedangkan zona air tenang merupakan bagian
perairan yang dalam dengan arus yang lambat, biasanya ada endapan lumpur yang
menyebabkan dasarnya lunak (Odum 1993).
Kecepatan arus
mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobentos serta secara tidak langsung
mempengaruhi substrat dasar perairan. Menurut Welch (1980), arus mempengaruhi
transport sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan
menjadi substrat batu, pasir, liat, ataupun debu. Sungai dengan arus yang
cepat, substrat dasarnya terdiri dari batuan dan kerikil sedangkan sungai
dengan arus air yang lambat substrat dasarnya terdiri dari pasir atau lumpur.
Berdasarkan kecepatan
arusnya Macon 1974, diacu dalam Welch (1980) mengelompokkan sungai menjadi
sungai berarus sangat cepat (> 1 m/detik), arus cepat (0,5 – 1 m/detik),
arus sedang (0,25 – 0,5 m/detik), arus lambat (0,1 – 0,25 m/detik) dan sungai
berarus sangat lambat ( 0,1 m/detik).
C. Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran
transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi
disk. Nilai kecerahan yang diungkapkan dalam satuan meter sangat dipengaruhi
oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi
(Effendi 2000).
Pada perairan alami
kecerahan sangat penting karena erat hubunganya dengan fotosintesis. Kecerahan
yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsungnya proses fotosintesis oleh fitoplankton
dengan baik. Kondisi perairan yang kecerahannya rendah dan kecerahannya yang
terlalu tinggi akan menurunkan kelimpahan zoobentos (Goldman & Horne 1984).
D. Kedalaman
Perairan dangkal
cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perairan yang lebih dalam. Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas
cahaya matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar
perairan, daerah dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar
dari pada daerah yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos
yang beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan
perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim kemarau. Hal
tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di dasar suatu perairan.
E. Substrat
Substrat didefinisikan
sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir dan liat dalam tanah. Odum (1971)
menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran
makrozoobentos yaitu substrat perairan seperti lumpur, pasir, tanah liat,
berpasir kerikil, dan batu, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi
jenis kepadatan dan pola sebaran makrozoobentos.
Pengendapan partikel
tergantung dari arus, apabila arus ditempat tersebut kuat maka partikel yang
mengendap berukuran besar, tetapi jika arusnya lemah maka yang mengendap di
dasar perairan adalah lumpur halus. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus
dan gelombang yang lemah, substrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasanya
terdapat di muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang
rendah. Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber
makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari dekomposisi
organisme yang masuk ke sungai.
Substrat yang kaya
bahan organik dapat melimpahkan hewan bentos yang di dominasi oleh deposit
feeder. Karakter substrat suatu perairan sangat menentukan keberadaan makrozoobentos
di perairan tersebut. Dasar berupa batuan-batuan di dominasi oleh
makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Dasar yang lunak dan selalu
berubah-ubah biasanya membatasi makrozoobentos untuk
berlindung.
Menurut Odum (1993),
Pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada arus air jika
arus air kuat, partikel yang mengendap berukuran besar dan jika arus air tidak
kuat, partikel yang mengendap akan memiliki ukuran yang lebih kecil.
F. Total Padatan Tersuspensi
Padatan tersuspensi
total atau total suspended solid (TSS) adalah bahan - bahan tersuspensi
(diameter 1 μm) yang tertahan pada kertas saring Millipore dengan ukuran
diameter pori-pori 0,45 μm. Tinggi rendahnya TSS akan berpengaruh pada tingkat
kekeruhan (APHA 1989). Penyebab nilai TSS yang utama adalah kikisan tanah atau
erosi tanah yang lumpur, pasir halus dan jasadjasad renik (Effendi 2000).
kondisi tersebut terjadi pada musim penghujan, dimana danau atau sungai mengalami
limpahan air hujan.
Effendi (2000) menyatakan
bahwa padatan tersuspensi dan penetrasi cahaya ke dalam perairan sangat
mempengaruhi kebiasaan hidup zooplankton. Apabila jumlah dan ukuran partikel
yang tersuspensi cukup besar dan aliran air tidak terlalu deras, maka
partikel-partikel tersebut akan mengendap di dasar perairan. Sedimentasi yang
terjadi akan melapisi substrat tempat hidup makrozoobentos sehingga keanekaragaman
dan kelimpahannya menurun (Hawkes 1979). Nilai kekeruhan yang masih memenuhi
kehidupan biota air yang diinginkan adalah tidak lebih dari 100 mg/l (Fardiaz
1992).
2.4.2 Parameter Kimia
A. Derajat keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan
intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh air dan mewakili
konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan berdampak
langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta menentukan reaksi
kimia yang akan terjadi. Nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa parameter,
antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion.
Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan karbondioksida yang merupakan hasil
respirasi, karbondioksida inilah yang akan membentuk buffer atau penyangga
untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1973).
Makrozoobentos memiliki
kisaran toleransi terhadap pH yang berbedabeda, seperti Gastropoda lebih banyak
ditemukan pada perairan dengan pH diatas 7. Bivalvia di dapatkan pada kisaran
pH yang lebih lebar yaitu 5,6 – 8,3. Dalam kelompok Insecta, Coleoptera mewakili
taksa dengan kisaran pH yang lebar. Sebagian besar famili Chironomidae mewakili
kelompok serangga terdapat pada pH diatas 8,5 dan dibawah pH 4,5 (Hawkes 1979).
B. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut atau Dissolved oxygen (DO) merupakan
kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk
hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan
konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Selanjutnya APHA (1989)
menyatakan bahwa oksigen terlarut di dalam air berasal dari hasil fotositesis fitoplankton
atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Oksigen terlarut digunakan dalam
penghancuran bahan organik dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut dalam
tingkat konsentrasi tertentu banyak jenis organisme perairan tidak dapat bertahan
hidup. Oksigen terlarut sangat penting untuk menunjang kehidupan organisme air,
khususnya makrozoobentos dalam proses respirasi dan dekomposisi bahan organik.
C. Kebutuhan
Oksigen Biokimiawi
Kebutuhan oksigen
biokimawi atau biochemical oxygen demand (BOD) merupakan ukuran
banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan
organik yang terdapat dalam air. Nilai BOD umumnya digunakan sebagai
bioindikator kelimpahan bahan organik dalam air. Aktivitas mikroorganisme yang
tinggi mengakibatkan semakin besar nilai BOD untuk menguraikan bahan organik.
Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya
menunjukkan secara relatif oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992).
Menurut Effendi (2000)
bahwa BOD berpengaruh terhadap kondisi zooplankton pada perairan, hal ini
dimungkinkan karena adanya bahan organik yang diuraikan oleh mikroba aerob yang
memerlukan oksigen sebagai makanan alami zooplankton dan makrozoobentos. Semakin
banyak bahan organik dalam perairan maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan
untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik di suatu perairan.
D. Kebutuhan
Oksigen Kimia
Menurut APHA (1989), Chemical oxygen demand (COD) atau kebutuhan
oksigen kimia merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan organik yang terdapat di perairan menjadi CO2 dan H2O
dengan menggunakan oksidator kuat. COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk menguraikan bahan organik secara kimia. Secara umum nilai COD dalam air limbah
lebih besar daripada nilai BOD karena lebih banyak materi yang dapat dioksidasi
secara kimia daripada secara biologis (Tchobanoglous & Burton 1991).
E. Amonia
dan Nitrat
Nitrogen di perairan
dapat berbentuk gas nitrogen (N2), amonia tidak terionisasi (NH3), ammonium (NH4+),
nitrit (NO3-) dan senyawa bentuk lain yang berasal dari limbah
pertanian, pemukiman, dan limbah industri (Goldman & Horne 1983), Di
perairan alami sungai konsentrasi amonia cenderung rendah antara 7 – 60 μg N/l,
Wetzel (2001) juga menambahkan bahwa pada perairan sungai umumnya konsentrasi
nitrat berkisar antara, 25 μg N/l pada lingkungan sub artik hingga amazon pada
2000 μg N/l sungai temperate. Nitrat dan nitrogen dengan konsentrasi tinggi
ditemukan di perairan sungai dekat daerah pertanian. Rata-rata NO3-N
di perairan sungai alami mendekati 1000 μg N/l.
Amonia di perairan
dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh bakteri, kegiatan
pemupukan, dan ekskresi-ekskeresi organisme-organisme yang ada didalamnya.
Setiap amonia yang dibebaskan ke suatu lingkungan akan membentuk reaksi
keseimbangan dengan ion ammonium (NH4+). Amonia ini yang kemudian
mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrat. Nilai ammonia memiliki hubungan
dengan nilai pH perairan yaitu makin tinggi pH maka makin besar kandungan
amonia (Wardoyo 1975).
2.5 Pengelolaan Sungai Dengan Menggunakan
Makrozoobentos
Di dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Oleh sebab itu pemanfaatan dan pemeliharaan sungai
dan alur sungai merupakan bagian dari pelindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan alur sungai tersebut
tidak sesuai dengan perundangan yang berlaku (Darmanto Dan Darmadji, 2013).
Saat ini pemerintah Indonesia lebih
cenderung melakukan pemantauan terhadap kualitas air sungai dengan mengandalkan
pendekatan fisika – kimia, sedangkan pendekatan biologi masih sangat jarang.
Pemantauan secara fisika kimiawi secara umum hanya mencerminkan kondisi pada
waktu pengambilan sampel karena tidak mencerminkan kondisi yang telah lalu
padahal masuknya polutan di perairan berlangsung terus – menerus (Sudaryanti,
2003).
Pada lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis
struktur komunitas makrozoobentos dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
kondisi perairan. Komunitas organisme yang dapat digunakan sebagai pendekatan
dalam menduga kualitas perairan tempat organisme itu berada umumnya ialah
makrozoobenthos. Hal ini dikarenakan hewan ini hidupnya bersifat relatif
menetap, pergerakan yang rendah, serta kemampuannya untuk mengakumulasi bahan
pencemar di dalam tubuhnya. Pendekatan kualitas perairan sungai dengan melihat
struktur organisme dalam hal ini makrozoobenthos yang ada di sungai dikenal sebagai
pendekatan secara biologi (Anzani, 2012)
Penggunaan komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas
perairan sungai sudah umum digunakan pada beberapa penelitian, diantaranya :
1.
Penelitian
yang berjudul Penggunaan Makrozoobentos Sebagai Indikator Status Perairan Hulu
Sungai Cisadane, Bogor yang dilakukan oleh Rahayu, dkk (2015). Pada lokasi penelitian
tersebut ditemukan Makrozoobentos yaitu Baetidae, sebanyak 171 ind/m2, Simulidae,
sebanyak 101 ind/m2, Hydropsyhidae sebanyak 50 ind/m2, dan Chironomidae sebanyak
28 ind/m2, dengan kelimpahan tertinggi adalah Bungona dan Simulium .
Pengelompokkan makrozoobentos berdasarkan feeding
groups didominasi oleh filtering
collector dan gatherer collector.
Filtering collector maupun gatherer collector tersebut memanfaatkan
bahan organik yang terlarut dalam perairan, hal ini menunjukkan bahwa stasiun-stasiun
pengamatan mengalami pencemaran bahan organik. Status perairan di Hulu
Sungai Cisadane berdasarkan Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat
Hg, menunjukkan tercemar ringan, berdasarkan Indeks EPT (Ephemeroptera,
Plecoptera, Trichoptera) menunjukkan baik-tercemar sedang, sedangkan Indeks
Signal, menunjukkan tercemar ringan-tercemar sedang.
2.
Penelitian
yang berjudul Makrozoobenthos
Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten yang dilakukan oleh Anzani (2012). Hasil yang didapatkan dari
penelitian yang berlokasi di Sungai Ciambulawung yaitu ditemukan
Makrozoobenthos yang terdiri dari 30 genus dari 27 famili, dengan komposisi
terbesar ditemukan dari ordo Diptera yaitu famili Chironomidae. Analisis data pada
indeks Biologi yang digunakan diantaranya: Indeks LQI, FBI, SIGNAL 2 dan EPT. Bedasarkan
keempat indeks biologi yang digunakan, indeks LQI (Lincoln Quality Index) dan SIGNAL 2 (Stream Invertebrate
Grade Number Average Level) yang paling sesuai dengan hasil indeks pencemaran dan storet yang
menggunakan parameter fisika kimia perairan. Hasil dari indeks tersebut
menunjukkan bahwa sungai pada stasiun 1 dan 2 kualitas perairanya baik dan
stasiun 3 sangat baik.
3.
Penelitian
yang berjudul Struktur
Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan
Hilir Sungai Musi oleh Setiawan (2008). Hasil dari penelitian ini adalah
ditemukannya beberapa spesies makrozoobentos yang dapat dijadikan sebagai
indikator kualitas perairan Sungai Musi bagian hilir yaitu indikator pencemar
berat : Tubifex sp, Lumbriculus sp, Nereis sp dan Chironomous sp,
indikator pencemaran ringan sampai sedang yaitu jenis Hydropsche sp serta indikator pencemar ringan dan pemulihan air bersih
yaitu Gammarus sp. Sehingga dari hasil
penelitian dapat direkomendasikan kepada pemerintah setempat sehubungan
menurunnya kualitas Sungai Musi bagian hilir di beberapa stasiun penelitian
terutama stasiun yang berada di dalam kawasan kota dan industri mulai stasiun
Musi Kramasan sampai dengan stasiun Hoktong perlu adanya pengelolaan dan
pemantauan kualitas air sungai secara periodik dan berkesinambungan berdasarkan
informasi hasil penelitian yang didapat.
4.
Penelitian
yang berjudul Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Dalam Menentukan Kualitas
Air Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, oleh Marmita, dkk (2013).
Pada penelitian yang berlokasi di Sungai Ranoyapo ini ditemukan Makrozoobentos
yang terdiri dari 3 Filum, 5 Kelas, 13 Bangsa, 21 Suku, dan 23 Marga. Indeks
keanekaragaman makrozoobentos dari Stasiun I (hulu), Stasiun II (tengah) dan Stasiun III (hilir) yaitu 2,43; 2,06; dan 1,77.
Kualitas air Sungai Ranoyapo di Stasiun I dan di Stasiun II telah tercemar
ringan dengan indeks 2,0 – 3,0 (H’>2). Kualitas air Sungai Ranoyapo di
Stasiun III telah tercemar sedang dengan indeks H’ sekitar 1,0 – 2,0 (H’
<2). Makrozoobentos yang dapat digunakan sebagai indikator biologis untuk
pencemaran ringan yaitu Ephemenoptera dan Plecoptera di Stasiun I dan II, dan
untuk pencemaran sedang yaitu Gastropoda di Stasiun III.
Pencemaran tersebut diduga karena Limbah pertanian,
perkebunan, permukiman penduduk, dan industri, mengingat aliran Sungai Ranoyapo melintasi kawasan pertanian, perkebunan,
permukiman penduduk, dan industri. Dan dari kawasan tersebut mempengaruhi
kualitas air Sungai Ranoyapo.
5. Penelitian
yang berjudul Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis dalam
Menentukan Kualitas Air Sungai Suhuyon Sulawesi Utara oleh Nangin, dkk (2015). Makrozoobentos
yang ditemukan pada penelitian ini yang berlokasi di Sungai Suhuyon yaitu
terdiri dari 3 filum, 4 kelas, 10 bangsa, 21 suku dan 22 marga. Berdasarkan
indeks keanekaragaman makrozoobentos (H’) kualitas air sungai Suhuyon termasuk
ke dalam kelompok perairan tercemar sedang. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001
air pada Sungai Suhuyon tidak dapat digunakan sebagai air minum (Baku mutu Air
Kelas 1). Air pada sungai Suhuyon hanya dapat digunakan dalam sistem pengairan,
budidaya ikan air tawar dan sarana rekreasi air.
6. Penelitian
yang berjudul Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi Dari Kualitas Air Di
Sungai Kumpeh Dan Danau Arang-Arang Kabupaten Muaro Jambi, Jambi oleh Asra
(2009). Hasil dari penelitian tersebut yaitu Sungai Kumpeh dan Danau
Arang-arang diklasifikasikan tercemar sedang (moderately polluted) dimana Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos
untuk ke dua lokasi tersebut berkisar antara 1,0 – 1,5. Untuk sungai Kumpeh nilai
Indeks Keanekaragamannya 1,21 dan Danau Arang-arang 1,19 dan 1,33. Keberadaan
dari spesies indikator seperti Chironomus
sp., Scatella sp., dan Branchiura sowerbyi juga mengindikasikan
bahwa kedua perairan tersebut tercemar. Pada sungai Kumpeh limbah berasal dari
limbah rumah tangga penduduk mengalir ke sungai tersebut, hal ini menyebabkan
kandungan bahan organik/bahan pencemar lainnya pada sungai tersebut tinggi. Sedangkan
penyebab tercemarnya danau Arang - arang dikarenakan adanya aktifitas
perkebunan kelapa sawit oleh beberapa perusahaan dalam skala besar di sekitar
danau tersebut. Kegiatan pembukaan lahan menyebabkan terbawanya bahan padatan
terlarut (suspended solid) sebagai produk proses erosi pada saat hujan turun.
7. Penelitian
yang berjudul Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perubahan
Kualitas Perairan Di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang oleh Fadillah, dkk (2015). Struktur komunitas makrozoobentos di Sungai Belawan
Kecamatan Pancur Batu terdiri dari 9 jenis yaitu Brotia testudinaria, Elimia
acuta, Lymnaea rubiginosa, Neoephemera sp, Melanoides granifera, Pomacea
canaliculata, Tarebia granifera, Thiara rufis dan Thiara scabra. Nilai indeks keseragaman
berkisar antara 0,72 – 0,78 dan nilai indeks dominansi berkisar antara 0,24 –
0,25. Kualitas air Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu berdasarkan indeks keanekaragaman
(H’) berkisar antara 1,29 – 1,51 yang menunjukkan kondisi perairan tercemar
sedang sedangkan berdasarkan analisis kurva ABC menunjukkan kondisi perairan tidak
tercemar – tercemar sedang. Rekomendasi pengelolaan yang dapat dilakukan guna
mencegah terjadinya pencemaran di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu adalah
: Perlu Adanya koordinasi dan
sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat
yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran air, Menentukan lokasi-lokasi
kritis yang terkena dampak karena berlangsungnya aktivitas di sungai sehingga
pengawasan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien, Pemantauan kualitas air secara berkelanjutan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menganalisis kondisi sebelum dan sesudah
terjadi perubahan kualitas air Sungai Belawan.
8. Penelitian
yang berjudul Zonasi Habitat Sungai Umbulrejo Di Kecamatan Dampit Kabupaten
Malang Berdasarkan Makrozoobenthos Oleh Kadim (2017). Hasil penelitian tersebut
yaitu ditemukannya Komunitas Makrozoobentos di Sungai Umbulrejo sebanyak 70
taksa dimana beberapa taksa yang dapat dijadikan sebagai indikator kondisi
kualitas air sungai. Struktur komunitas makrozoobentos Sungai Umbulrejo membagi
sungai tersebut menjadi 2 kelompok kategori tercemar sedang, dimana
Makrozoobentos yang ditemukan diantaranya : Glossosomatidae, Thiaridae,
Sundathelpusidae, Perlidae, dan Tuficidae dan tercemar agak berat, dimana
Makrozoobentos yang ditemukan, daintaranya : Caenidae, Chirnomidae, Simulidae,
Tubificidae, dan Hirudinea. Daerah Sungai Umbulrejo yang masuk kategori
tercemar sedang merupakan daerah yang tata guna lahannya adalah pertanian,
aktivitas MCK dan Kolam Pemandian. Sedangkan daerah Sungai yang masuk kategori tercemar
agak berat merupakan daerah yang tata guna lahannya didominasi lahan pertanian
dan daerah pemukiman. Ditemukannnya makrozoobentos indikator pencemaran (bahan
organik) di Sungai Umbulrejo mengindikasikan status perairan di sungai tersebut
telah mengalami pencemaran khususnya diakibatkan oleh aktivitas pertanian. Oleh
karena itu diharapkan pemerintah Desa Pamotan atau khususnya dari Dinas
Pertanian melakukan sosialisasi pada petani di Desa Pamotan, misalnya dengan
menyarankan petani setempat untuk lebih menggunakan pupuk organic dan membatasin
penggunaan pupuk anorganik (penerapan pupuk anorganik dengan dosis yang tepat).
Dari beberapa penelitian mengenai
Penggunaan Makrozoobentos sebagai Bioindikator diatas dapat dikatakan bahwa
struktur komunitas Makrozoobentos sangat berkaitan dengan tingkat pencemaran
pada perairan tersebut. Keanekaragaman makrozoobentos dirasakan sangat penting
karena dapat memberikan informasi status kualitas air sungai apakah sudah atau
belum tercemar. Dengan menggunakan analisis data seperti Indeks Keanekaragaman,
Indeks Keseragaman, Indeks Dominansi , Indeks Biologi (LQI, SIGNAL 2, EPT, FBI)
, CANOCO, ANOVA dan lain sebagainya,
kita dapat mengetahui komposisi jenis Makrozoobentos serta buku Identifikasi
yang berguna dalam pengelompokkan Makrozoobentos berdasarkan golongan /
kelasnya.
Hasil dari penelitian yang
didapatkan di lapangan, kemudian direkomendasikan kepada pemerintah setempat. Apabila
terjadi penurunan kualitas air pada sungai tersebut perlu dilakukannya koordinasi
dan sosialisasi dari Pemerintah kepada Masyarakat setempat, sehingga akan
terciptanya suatu kebijakan tentang
pengelolaan dan pemantauan kualitas air sungai secara berkelanjutan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah untuk menganalisis kondisi sebelum dan sesudah
terjadi perubahan kualitas air. Selain itu perlu dilakukannya penentuan
lokasi-lokasi kritis yang terkena dampak karena berlangsungnya aktivitas di
sungai sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. Penentuan
status kualitas air Sungai sangat diperlukan dalam upaya untuk memelihara dan
menjaga kesehatan lingkungan serta pengelolaannya bagi kesejahteraan masyarakat
setempat maupun untuk keberlanjutan kehidupan biota yang mendiami sungai
tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indikator Biologis atau Bioindikator yang cocok
untuk memantau status kualitas perairan sungai adalah Makrozoobentos. Komposisi
dan struktur komunitas Makrozoobentos yang hidup dan dominan dalam sungai dengan
kepekaan yang berbeda – beda terhadap perubahan kualitas air yang terjadi di
dalam sungai tersebut.
3.2 Saran
Perlu dilakukannya pengkajian yang
lebih tentang Pengelolaan sungai dengan menggunakan Makrozoobentos sebagai
Bioindikator seiring dengan meningkatnya pencemaran di sungai – sungai yang ada
di Indonesia, dan perlu dilakukannya penerapan hukum yang tegas bagi masyarakat
yang membuang sampah ke sungai.
DAFTAR PUSTAKA
[APHA]
American Public Health Association. 1989. Standard Methods for The Examination
of Water and Waste Water. Ed ke-17. Washington D.C : APHA.
Anzani,
Yunita Magrima. 2012. Skripsi :
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung,
Lebak, Banten. Bogor : Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Asra,
Revis. 2009. Makrozoobentos Sebagai
Indikator Biologi Dari Kualitas Air Di Sungai Kumpeh Dan Danau Arang – Arang
Kabupaten Muaro Jambi, Jambi : Jurnal Biospesies Volume 2 No.1 Hlm 23 - 25
Basmi
J. 1999. Ekosistem Perairan : Habitat dan Biota. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB
Cummins
K. 1975. Macroinvertebrates. Di dalam : B.A. Whitton, editor. River Ecology.
Merlbourne: Blackwell Scientific Publications. Oxford. Edinburg. Hlm 170-189.
Dennis B, Patil GD. 1977. The Use of Community
Diversity Indices for Monitoring Trends in Water Pollution Impact. Tropical
Ecology 18 : 36-51.
Effendi
H. 2000. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan
Perairan. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Fadilah,
Nurul., P. Pratana, M. Dalimaunthe. 2015. Struktur
Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perubahan Kualitas Perairan Di
Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Medan : Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan. Universitas Sumatera Utara
Fachrul
MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Fardiaz
S. 1992. Polusi air dan Udara. Yogyakarta : Kanasius Goldman, C, R. and
A. J. Horne. 1983. Limnology. Mc Graw Hill. Intenational Book Company.
New York.
Goldman
CR, Horne AJ. 1984. Limnology. International Student Edition. Auckland:
McGraw-Hill
International Book Company.
Hawkes
HA. 1979. Invertebrates as Indicator of River Water Quality. In : Jamers A. and
Evision L, editor. Biological Indicator of Water Quality. Toronto
Canada: John Willey and Sons.
Hordkinson
ID, Jackson JK. 2005. Terrestrial and Aquatic Invertebrates as Bioindicators
for Environmental Monitoring, with Particular Reference to Mountain Ecosystems.
Environ Manag Vol. 35 (5) : 649–666. Continum Concept.
USA: Can J Fish Aquat. Sci. 37 : 130-137
Hornby
D, Bateman GL. 1996. Potential Use of Plant Root pathogens as Bioindicator of
Soil Health. Di dalam : Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil
health. Oxon : CABI .179-200.
Huet
M, Timmermans JA. 1971. Teks Books of Fish Cultur Breeding and Cultivation
of Fish. London: Fishing News (Books).
Iskandar.
2002. Struktur Komunitas Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan di
Situ Tonjong. Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor.
Izmiarti
dan Dahelmi. 1999. Makroinvertebrata Sungai di Hutan Pendidikan Dan Penelitian
Biologi (HPPB) dan Kolonisasinya Pada Substrat Buatan. Laporan Penelitian
Dosen Muda. Direktorat Pembinaan Penelitian Dan Pengabdian Pada
Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departement Pendidikan
dan Kebudayaan.
Jeffries
M, Mills D. 1996. Freshwater Ecology. Principles and applications.
Chichester England: Jhon Wiley and Sons, UK
Lind,
O. T. 1979. Hand Book of Common Method in Limnology. CV. Mosby.
St.Louis, Toronto. London
Kadim,
Miftahul Khair. 2017. Komunitas
Makrozoobentos. Yogyakarta : Zahir Publishing.
Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan
Pemanfaatan Limbah Industri. CV. Rajawali. Jakarta.
Marmita,
Rifgah., R. Siahaan., R. Komeri., M. L. Langoy. 2013. Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Dalam Menentukan Kualitas Air
Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara : Jurnal Ilmiah Sains Vol
13 No.1
Maryono,
A. 2005. Ecological Hydraulics of River Development. Edisi Kedua. Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
McGeoch
MA. 1998. The Selection, Testing, and Application of Terrestrial Insect as Bioindicator.
Biol Rev 73 : 181-201.
Mhatre GN, Pankhurst CE. 1996. Bioindicator to Detect
Contamination of Soil with Special Reference to Heavy Metals. Di dalam :
Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR,
editor. Biological Indicator of Soil health. Oxon CABI. p349-370.
Nangin, Sernando. R., M.L. Lengoy., D. Y. Katili.
2015. Makrozoobentos Sebagai Indikator
Biologis Dalam Menentukan Kualitas Air Sungai Suhuyon, Sulawesi Utara :
Jurnal MIPA UNSRAT Online 4 (2) Hlm 165-168
Nybakken
JW. 1988, 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. M. Eideman, Koesbiono,
dan DG Bengen, Penerjemah; Jakarta: P.T. Gramedia. Terjemahan dari : Marine
Biological : An Ecological Approach.
Odum
EP. 1971. Fundamental of Ecology. Ed ke-3. Philadelphia: W.B Saunders
Co.
Odum
EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Tjahjono Samingan, Penerjemah;Yogyakarta: Ed
ke-3. Universitas Gadjah Mada. Terjemahan dari : Fundamental of Ecology.
Odum,
E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Ogbeibu,
A. E and B.J. Oribhabor. 2002. Ecological impact of river impoundment using
benthic macroinvertebrates as indicator. Journal Water Research 36:2427
– 2436.
Pescod
NB. 1973. Investigation of Inland Water and Estuaries. New York:
Reinhold Pubilshing Corporation.
Rahayu,
Dyah Muji., G.P Yoga, H. Effendi, Y. Widianto. 2015. Penggunaan Makrozoobentos Sebagai Indikator Status Perairan Hulu Sungai
Cisadane, Bogor : Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) vol. 20 (1) : 1 –
8.
Sastrawijaya T. 1991. Pencemaran Lingkungan.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Setiawan, Doni. 2008. Tesis : Struktur Komunitas
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai
Musi . Bogor : Sekolah
Pascasarjana IPB.
Setyobudiandi
I. 1997. Makrozoobentos (Definisi, Pengambilan Contoh dan Penanganannya).
Bogor: Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan Jurusan Manajemen Sumberdaya
Perairan, FPIK. IPB.
Straalen
NH Van. 1996. Community Structure of Soil Antropods as Bioindicator of soil
health. Di dalam : Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological
Indicator of Soil health. Oxon : CABI.325-347.
Sudarso
Y. 2003. Pendugaan Status Kesehatan Sungai dengan Menggunakan Indikator
Makrozoobentos. Bogor: IPB.
Sudaryanti,
S. 2003. Pengembangan Bioassesment Kualitas Air Sungai. Rimgkasan Laporan
Akhir. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Jawa Timur Bekerja sama
dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya. Malang
Susanto, H. dan A. Rochdianto. 2008. Kiat Budi
Daya Ikan Mas Dilahan Kritis. Penebar
Swadaya Depok. Jakarta.
Tchobanoglous
G, Burton FL. 1991. Wastewater Engineering : Treatment. Disposal and Re use.
Ed ke-3. New York: McGraw-Hill.
Trihadiningrum,
Y.2007. Kajian Aplikasi Bioassesment untuk Penilaian Kualitas Sungai di
Indonesia. Disampaikan pada Diskusi Ilmiah Terbata “Development of Bioassesment System for River Water Quality”
bekerjasama dengan BPLHD Provinsi Jawa Barat dengan SITH-ITB.
Untung,
K., S. Noegrahati, S. D Tanjung, B. V. Romer-Seel, B. Widyantoro, S.S.
Brahmana, S.Sudaryanti, T. Sudibyaningsih dan Y.Trihardiningrum.1996.
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Periaran Tawar. Hasil Perumusan
Kelompok I Rapat Kerja Temu Pakar
Bioindikator LAKFIP-UGM. Yogyakarta. 1-2 Maret.
Vannote
RL, Minshall GW, Cummin KW, Sedel JR, Cushing CE. 1980. The River
Vernberg
WB, Thurbwerg FP, Calabrese A, Vernberg FJ. 1981. Marine Pollution : Functional
Responses. London: Academic Press Inc.
Wardoyo. 1975. Pengelolaan Kualitas Air.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Welch
EB. 1980. Ecological Effect of Wastewater. Cambridge University Press. Cambridge.
London: New York New Rochelle.
Wetzel
RG. 2001. Limnology: Lake and River Ecosystem. San Diego California.USA:
Academic press.
Wilhm
JF. 1975. Biological Indicator of Pollution. Di dalam : Whitton BA, editor. River
Ecology. London: Blackwell Scientific Publications. Oxford. 370- 402 .