Kamis, 22 Juni 2017



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Sungai merupakan salah satu bentuk ekosistem lotik (perairan mengalir) yang berfungsi sebagai media atau tempat hidup organisme makro maupun mikro, baik itu yang menetap maupun yang dapat berpindah-pindah (Maryono, 2005). Organisme yang hidup dalam badan air ini adalah organisme yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap kecepatan arus atau aliran air (Susanto dan Rochdianto, 2008).
Selain berfungsi sebagai media kehidupan, sungai juga berperan sebagai tempat pembuangan dari semua limbah kegiatan manusia seperti limbah dari daerah pemukiman, pertanian, perikanan, pariwisata dan industri yang ada di sekitarnya (Mahida, 1984). Adanya masukan dari limbah di atas akan dapat merubah sifat fisika,  kimia dan biologi dari ekosistem sungai. Perubahan tersebut dapat menurunkan kualitas air dan mengganggu tatanan kehidupan organisme di dalam sungai (Odum, 1998).
   Melihat kecendrungan peningkatan pencemaran yang terjadi di perairan, maka pengkajian kualitas perairan baik kualitas fisik-kimia maupun biologi perairan pelu dilakukan. Pengkajian kualitas biologi berperan penting karena fungsi akumulatifnya yang dapat mengantisipasi perubahan lingkngan. Komponen biologi yang dijadikan dasar kajian adalah organisme makrozoobentos. Makrozoobentos berperan sebagai mata rantai makanan dalam ekosistem perairan. Ditinjau dari level tropik makrozoobentos menduduki level konsumen pertama dan kedua dan pada akhirnya dimakan oleh konsumen yang lebih tinggi, seperti ikan. Selain itu hewan bentos berperan dalam siklus nutrien terutama dalam proses awal dari dekomposisi material organik (Goldman and Horne, 1983; Izmiarti dan Dahelmi, 1999). Makrozoobentos juga dapat digunakan sebagai hewan indikator dalam menilai kondisi lingkungan perairan (Ogbeibu and  Oribhabor, 2002)
Lind (1979) menyatakan bahwa makrozoobentos adalah hewan invertebrata yang hidup di dasar perairan. Makrozoobentos sungai termasuk hewan yang hidup relatif menetap di dasar sungai baik sungai mengalir kencang atau lambat. Hewan ini dapat merespon masukan bahan yang terus-menerus ke dalam sungai. Oleh karena itu, komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos yang hidup dalam sungai merupakan hasil adaptasinya terhadap perubahan kualitas air yang terjadi di dalam sungai tersebut.
1.2.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.       Bagaimana konsep dasar dari Bioindikator?
2.      Mengapa Makrozoobentos bisa di jadikan Bioindikator?
3.      Apa saja Faktor – faktor yang mempengaruhi keberadaan Makrozoobentos?
1.3.     Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menjelasakan pengelolaan sungai dengan menggunakan Makrozoobentos sebagai Bioindikator Kualitas Perairan

1.4    Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.      Merupakan suatu kerangka acuan untuk melanjutkan proposal penelitian tentang Pengelolaan Sungai menggunakan Makroobentos Sebagai Bioindikator
2.      Memberikan wawasan tentang fungsi Makrozoobentos sebagai Indikator Biologi untuk mengindikasikan apakah perairan tersebut khususnya sungai tersebut tercemar atau tidak.
3.      Memberikan pengetahuan seputar Makrozoobentos dan peranannya di perairan












BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ekosistem Sungai
Sungai merupakan salah satu bentuk ekosistem lotik (perairan mengalir) yang berfungsi sebagai media atau tempat hidup organisme makro maupun mikro, baik itu yang menetap maupun yang dapat berpindah-pindah (Maryono, 2005).
Sesuai dengan konsep kontinum (Vannote et al. 1980), sungai merupakan badan air yang kontinum, keadaan di bagian hilir merupakan kelanjutan dari kejadian-kejadian di bagian hulunya. Suatu sungai dapat mengambarkan perubahan struktur dan fungsi komunitas sepanjang sungai sehingga terjadi perubahan gradien dari hulu hingga ke hilir.
Daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi bagian dari perairan umum merupakan suatu wilayah dataran yang menampung dan menyimpan air hujan yang kemudian mengalirkannya ke laut melalui satu sungai utama. Pengertian sungai itu sendiri adalah perairan yang airnya mengalir pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan, dan atau air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut, sungai atau perairan terbuka yang luas. Air tawar secara terus menerus mengalami siklus hidrologi dimana siklus hidrologi ini bergantung pada proses evaporasi dan presipitasi, begitu juga sungai yang sumbernya berasal dari air hujan yang mengalir sebagai air permukaan atau air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi ke badan air (Jeffries & Mills 1996).
Pada sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh, tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Kecepatan arus, erosi dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat di pengaruhi oleh ketiga variabel tersebut. Intensitas cahaya dan perbedaan suhu air sangat berperan pada pengklasifikasian perairan lentik, sedangkan pada perairan lotik justru kecepatan arus atau pengerakan air, jenis sedimen dasar, erosi dan sedimentasi yang paling berperan (Jeffries & Mills 1996).
Sifat-sifat ekosistem lotik secara fundamental diatur oleh laju aliran. Pada aliran dengan kecepatan lebih dari 50 cm/detik, dasar sungai terdiri partikelpartikel yang lebih besar, sehingga sungai akan memiliki dasar yang keras dan mungkin berbatu. Pada aliran dengan kecapatan dibawah 50 cm/detik terdiri dari partikel-partikel yang lebih kecil sehingga dasar sungai menjadi lembut dan berpasir atau berlumpur. Hal yang menonjol dari ekosistem akuatik mengalir adalah yang berkaitan dengan pergerakan airnya. Pergerakan air tersebut umumnya dinyatakan dengan derajat kecepatan aliran sungai (arus) meter/detik (Basmi 1999).
Baik kecepatan arus maupun volume aliran air akan meningkat semakin ke hilir sungai. Faktor yang penting berpengaruh terhadap komunitas biota adalah turbulensi atau pergerakan air atau partikel air yang tidak menentu dan pergerakan partikel yang paralel satu sama lainnya disebut aliran laminar, yang sangat kontras dengan pergerakan air yang irreguler atau tak beraturan. Pada bagian sungai yang terkena aliran turbulen yang tinggi, erosi akan terjadi dengan cepat, disamping itu turbulensi yang keras (tinggi) akan efektif mengikis dan mengangkat sedimen di dasar sungai dan daya absorbsi (difusi) permukaan air untuk menyerap oksigen (gas-gas di udara) ke dalam air semakin kecil. Sebaliknya bagian sungai yang terkena aliran laminar, erosi sangat kecil, pengikisan sedimen dasar sungai sedikit, konsentrasi oksigen terlarut relatif rendah, bila dibandingkan dengan zona sungai yang terdapat aliran turbulen (Basmi 1999).
Ciri khas sebuah sungai di mulai daerah bagian hulu yang biasanya berawal dari dataran tinggi yang hanya berupa parit kecil, aliran deras, air dingin, dan pergerakan air secara turbulen, mempunyai hidrograf aliran dengan puncakpuncak yang tajam sewaktu mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage), gradien hulu sungai cukup curam dan sangat aktif mengikis air secara turbulen. Dasar sungai terdiri batuan. Semakin jauh ke hilir, sungai tersebut akan menyatu dengan anak-anak sungai  (Basmi 1999).
Aliran sungai akan menjadi lambat ketika menjelang dan memasuki dataran pantai. Di dekat muara ini, luar sungai akan terisi dengan pasir. Daya pancar masa air disini menjadi lebih besar, karena sungai tersebut telah menampung air dari banyak anak sungai, dan daerah ini akan menjadi lebih dalam. Meskipun demikian, airnya menjadi sangat keruh, karena di sini terdapat partikel-partikel tersuspensi yang sangat halus yang berasal dari bahan organik sekitar sungai yang masuk ke sungai karena terbawa aliran air permukaan tanah. Di dekat muara aliran turbulen ini sudah sangat lemah, cenderung berganti menjadi aliran laminar dan terakhir air sungai memasuki laut dan zona ini disebut zona transisi atau estuaria (Basmi 1999).
Air mengalir atau habitat lotik berasal dari kata lotus berarti tercuci, aliran air pada habitat lotik ini terdapat dua zona utama yaitu :
1.      Zona air deras : daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi aliran airnya deras dan turbulen, baik organisme maupun partikel sedimen tidak mampu melekat atau terendap di dasar perairan karena akan tersapu oleh arus sehingga dasarnya padat. Substrat sungai terdiri batu-batu atau koral yang merupakan pecahan atau potongan-potongan bulat yang licin karena terkikis oleh air dan habitatnya beraneka ragam. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus atau organisme perifiton yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar sungai yang padat dan oleh ikan yang kuat berenang misalnya darter (Basmi 1999).
2.      Zona air tenang (lambat) : bagian air yang dalam dimana kecepatan arus sudah berkurang, aliran airnya lambat dengan aliran partikel laminar, daya erosi berkurang, partikel-partikel sedimen sangat halus seperti lumpur dan materi lepas cenderung mengendap di dasar perairan, sehingga dasarnya lunak, tidak sesuai untuk bentos permukaan. Organisme yang hidup di dasar sungai berlumpur antara lain sowbug (Isopoda), keong, mayfly dan aniad damselfly. Fauna lainnya tinggal di dalam sedimen dengan menggali lubang seperti, naiad mayfly dan beberapa larva insekta lainnya seperti kerang, nematoda, siput (Basmi 1999).



2.2  Konsep Dasar Bioindikator
Bioindikator adalah organisme yang yang menunjukkan sensitivitas atau  toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Menurut Wittig (1993), diacu dalam Mhatre & Pankhurst (1996) bioindikator adalah organisme, bagian dari suatu organisme atau masyarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan informasi tentang kondisi lingkungan baik sebagian atau keseluruhan sedangkan McGeoch (1998) mendefinisikan bioindikator sebagai spesies atau kelompok spesies yang secara cepat dapat menggambarkan kondisi lingkungan baik abiotik maupun biotik; menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat, komunitas atau ekosistem; atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara keseluruhan di dalam suatu kawasan.
Bioindikasi menurut McGeoch (1998) dalam aplikasinya dikelompokkan ke
dalam tiga kategori yaitu:
1.      Indikator lingkungan (Enviromental indicator) adalah spesies atau kelompok spesies yang tanggap terhadap lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi lingkungan. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5 yaitu sentinels, detektor, eksploiter, akumulator dan bioassay organisme.
2.      Indikator ekologis (Ecological indicator) yaitu karakteristik takson atau kelompok yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan, yang menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan tanggapannya diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut.
3.      Indikator keanekaragaman hayati (Biodiversity indicator) adalah kelompok takson atau kelompok fungsional dimana keragamannya dapat menggambarkan beberapa ukuran tentang keragaman kekayaan jenis, kekayaan sifat dan endemisitas) takson di atasnya dalam sebuah habitat atau kelompok habitat. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal.
Bioindikasi dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makro molekul, sel, organ, organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem), sehingga bentuk bioindikasi meliputi: (1) reaksi biokimia dan fisiologis, (2) penyimpangan bentuk anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normalnya, (3) perubahan floristik, faunistik, populasi secara berurutan (kronologis), (4) perubahan ekosistem ataupun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst 1996).
Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1.      Indikator (kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan lingkungan, secara kuantitatif jarang).
2.      Spesies uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang luas, spesies uji umumnya memiliki standarisasi yang tinggi),
3.      Monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan kuantitatif biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif yang tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di introduksi). Monitor pasif terdiri dari reaktor (tanggapannya adalah perubahan fungsi atau reaksi) dan akumulator responnya di amati dari akumulasi polutan (Hornby & Bateman 1996).
Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik parameter biologis tersebut diantara adalah komposisi jenis, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1996). Efektivitas suatu bioindikator tergantung pada kekuatan hubungan antara faktor lingkungan dan parameter biologis. Faktor lingkungan mempengaruhi parameter biologis melalui beberapa hubungan kausatif. Ketika parameter biologis dijadikan sebagai indikator, dapat dilihat sebagai kebalikan dari hubungan sebab akibat (Straalen 1996).
Kriteria umum untuk menetapkan suatu organisme digunakan sebagai indikator adalah: (1) Takson yang tinggi atau lebih tinggi, dipilih takson yang telah diketahui secara detail dan taksonominya jelas dan mudah untuk di identifikasi; (2) Biologi organisme tersebut di ketahui dengan baik, memiliki respon yang baik terhadap faktor tekanan atau perubahan sifat habitat; (3) Organisme tersebut tersedia secara melimpah, mudah di survei dan di manipulasi; (4) Terdistribusi dalam ruang dan waktu; dan (5) Berkorelasi kuat dengan komunitas keseluruhan atau tidak berkorelasi kuat dengan faktor tekanan (Hordkinson & Jackson 2005).



2.3  Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
a.      Organisme Makrozoobentos
             Bentos adalah organisme yang hidup di permukaan atau dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme nabati yang disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos. Pada umumnya zoobentos adalah makro invertebrata yang meliputi insekta, mollusca, oligochaeta, crustacea dan nematoda (Cummins 1975). Sebaran vertikal bentos terbagi menjadi epifauna yaitu organisme yang hidup di atas permukaan dasar substrat perairan dan infauna yaitu organisme yang hidup di dalam dasar substrat perairan.
 







Gambar 1. Makrozoobentos yang hidup di atas dan di dalam substrat dasar
perairan (Cummins 1975).
Menurut Vernberg 1981, diacu dalam Fachrul (2007) menggolongkan bentos berdasarkan ukurannya ke dalam tiga golongan yaitu :
1.      Makrobentos adalah bentos yang tersaring oleh saringan yang berukuran saringan 1,0 x 1,0 milimeter atau 2,0 x 2,0 milimeter, yang pada pertumbuhan dewasanya berukuran 3 – 5 milimeter.
2.      Meiobentos adalah bentos yang berukuran antara 0,1 – 1 mm misalnya golongan Protozoa yang berukuran besar (Cnidaria), cacing ukuran kecil.
3.      Mikrobentos adalah bentos yang berukuran kurang dari 0,01 mm – 0,1 mm misalnya Protozoa.
Menurut Jeffries & Mills (1996), makrozoobentos dapat dibedakan dalam empat golongan berdasarkan kebiasaan makannya yaitu :
1.      Perumput (grazer) dan pengikis (scraper) yaitu herbivora pemakan alga yang tumbuh melekat pada substrat.
2.      Pemarut (shredder), yaitu detrivora pemakan partikel ukuran besar
3.      Kolektor (collector) yaitu detrivora pemakan partikel halus baik yang berupa suspensi dan berupa endapan.
4.      Predator yaitu berupa hewan karnivora.
Berdasarkan cara makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1.      Filter feeder adalah hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring makanan
2.      Deposit feeder adalah yang mengambil makanan dalam substrat dasar kelompok pemakan deposit banyak terdapat pada substrat berlumpur seperti jenis-jenis cacing Polychaeta (Setyobudiandi 1997).
Kelimpahan makrozoobentos di suatu perairan di pengaruhi oleh faktorfaktor yang meliputi faktor fisika, kimia, dan faktor biologi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan adanya interaksi dengan organisme lain (Odum 1971). Tingkat keanekaragaman bentos yang terdapat di lingkungan perairan tertentu merupakan cerminan variasi daripada toleransinya terhadap kisaran-kisaran parameter lingkungan. Dengan adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sessile) dan daya adaptasi bervariasi terhadap kondisi lingkungan, membuat hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Kehadiran spesies toleran dan ketidak-hadiran spesies yang tidak toleran dapat digunakan sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Dennis & Patil (1977) menyatakan bahwa kelompok organisme yang merasakan langsung pengaruh perubahan lingkungan adalah makrozoobentos, karena pada umumnya makrozoobentos tidak berpindah tempat. Perubahan kondisi fisika dan kimia lingkungan akan menghasilkan perubahan pada komunitas makrozoobentos. Organisme yang toleran terhadap perubahan lingkungan pada akhirnya akan tumbuh dan berkembang karena tidak terdapat kompetisi baik dalam ruang maupun makanan, sehingga jumlah organisme tersebut akan melimpah, sedangkan organisme yang tidak toleran terhadap perubahan lingkungan, kemampuan untuk tumbuh, bereproduksi dan
berkompetisi dalam komunitas akan terganggu. Gangguan yang berkelanjutan pada organisme akan menghasilkan perubahan pada struktur komunitas.


Tabel 1 Struktur komunitas makrozoobentos pada berbagai kondisi perairan
Keadaan Perairan
Struktur Komunitas Makrozoobentos

Tidak tercemar
Tidak ada satu pun spesies yang dominan,komunitas
makrozoobentos seimbang dengan beberapa populasi
intoleran yang diselingi beberapa populasi falkultatif.komunitas



Tercemar moderat
Banyak spesies intoleran yang hilang atau berkurang
dan berbagai spesies fakultatif dengan satu atau dua
spesies dari kelompok toleran yang mendominasi.



Tercemar
Jumlah spesies dari komunitas makrozoobentos yang
terbatas, diikuti berkurangnya kelompok toleran dan
fakultatif. Jumlah spesies toleran akan melimpah.



Tercemar Berat
Hampir seluruh komunitas makrozoobentos hilang
kecuali cacing oligochaeta dan kelompok yang bernafas
ke udara. Seluruh kehidupan mungkin saja hilang.



                                                                                                                           Sumber : Wilhm (1975)
Berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar. Gauffin (1958), diacu dalam Wilhm (1975) membagi makrozoobentos menjadi tiga golongan yaitu : intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang sempit terhadap pencemaran, dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan sehingga hanya hidup pada perairan yang belum tercemar dan miskin bahan organik. Organisme fakultatif adalah organisme yang dapat hidup dalam kisaran toleransi lingkungan yang agak luas, meskipun dapat hidup dalam perairan yang kaya bahan organik dan perairan yang tercemar ringan sampai dengan pencemaran sedang, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran adalah organisme yang tumbuh dan berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang luas sehingga mampu berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar sedang maupun tercemar berat. Oleh karena itu untuk mengetahui kehadiran atau ke tidak hadiran organisme pada lingkungan perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat kualitas suatu habitat. Beberapa spesies yang termasuk golongan intoleran, fakultatif dan toleran yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa contoh makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap
bahan pencemar
Status
Jenis Makrozoobentos
Gambar
Intoleran
Ephemera (lalat sehari), Acroneuria (lalat batu), Chimarra, Mesovelia (kepik), Helichus (kumbang), Anopheles (nyamuk).
 
Fakultatif
Stenonema (lalat sehari), Taeniopteryx (lalat batu), Hydropsyche, Agrion, Corydalus (lalat), Agabus (kumbang), Chironomous, Helodrilus (cacing Oligochaeta).

 
Toleran
Chironomous (sejenis nyamuk), Limnodrillus, dan
Tubifex (cacing Oligochaeta)

Sumber : Gaufin 1958, diacu dalam Wihlm (1975).

Pada perairan yang masih bersih menunjukkan keseimbangan komunitas makrozoobentos ditandai dengan adanya spesies intoleran yang bercampur dengan spesies fakultatif, dimana tidak ada spesies yang dominan. Pada perairan yang tercemar sedang, organisme intoleran mulai berkurang jumlahnya. Pada perairan tercemar dimana bahan organiknya tinggi tidak ditemukan lagi spesies intoleran dan fakultatif, yang ditemukan hanyalah organisme toleran, bahkan pada perairan yang tingkat pencemarannya sudah berat dapat menyebabkan hilangnya semua spesies makrozoobentos kecuali cacing atau organisme yang mengambil oksigen dari udara dan pada akhirnya tidak ditemukan lagi adanya kehidupan di perairan tersebut (Wilhm 1975). Setiap spesies mempunyai respon yang spesifik terhadap perubahan lingkungan. makrozoobentos dari spesies Tubifex sp dan Melanoides tuberculata merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) rendah dan partikel tersuspensi tinggi pada ekosistem perairan sungai (Sastrawijaya 1991).
Beberapa tingkat pencemaran bahan organik dalam air tawar dan makrozoobentos yang terkait sebagai indikator biologi menurut Sastrawijaya (1991) :
1.      Limbah organik yang sangat pekat (oksigen terlarut pada taraf nol) makrozoobentos yang ada hanya golongan cacing dari genus Tubifex dan Limnodrillus
2.      Jika kondisi air lebih baik, maka makrozoobentos dari golongan cacing tersebut yang diikuti oleh larva Chironomous (cacing darah);
3.      Pada zona air yang sudah pulih spesies yang khas adalah Asellus aquaticus di samping Chironomous, tetapi ada pula spesies lain seperti lintah dan moluska tertentu setelah zona Asellus aquaticus, kondisi air pulih lebih baik lagi terutama zona Gammarus. Zona ini mungkin dianggap sebagai zona taraf pertama kembalinya fauna yang biasa terdapat di air bersih. Ciri zona Gammarus adalah banyaknya keragaman jenis makrozoobentos termasuk Trichoptera dan Ephemeroptera
4.      Taraf kelompok hewan lain akan kembali yang bergantung pada tipe sungai atau hulu sungai.
Klasifikasi makrozoobenthos yang didasarkan atas beban pencemaran bahan organik menurut Untung et al., (1996) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.  Makrozoobentos indikator untuk menilai kualitas air.

Kelas
Kualitas Air (mg/l)

Makrozoobentos Indikator

Gambar
1
(Tidak Tercemar)
 DO : > 6
BOD : < 2




Cased Trichoptera : Sericosmatuidae, Lepidosmatidae, Glossosomatidae,
Planaria
 
 
2 (Tercemar Ringan)
DO : min.  6
BOD : 2,1 – 6,0
Plecoptera : Perlidae, Perlodidae
Ephermeroptera : Lepthoblebidae, Pseudocuelon, Ecdyonuridae, Caenidae,
Non – Cased Trichoptera : Hydropsychidae,  Psychomydae
Odonata :
Gomphidae, Platycnemididae,  Agriidae, Aeshnidae
Coleoptera :
Elminthiadae
     
3 (Tercemar Sedang)
DO : min.3
BOD : 6,1 – 9,0
Non-Cased Trichoptera
Mollusca : Pulmonata  (Siput)
Crustacea : Gammaridae
Odonata: Libellulidae, Cordulidae
 
4 (Tercemar)
DO : min.1
BOD : 9,1 - 15
Hirudinea : Glossiphonidae, Hirudidae
Hemiptera : semua jenis
   
5 (Tercemar agak berat)
DO : 0 - 1
BOD : 15,1 -25

Oligochaeta : Tubificidae
Diptera : Chrionomous thummi – plusmosus
Syrplidae

    
6
(Sangat Tecemar)
DO : 0
BOD :
> 25
Tidak terdapat makroinvertebrata, besar kemungkinan dijumpai lapisan bakteri yang sangat toleran terhadap limbah organic (Sphacrotilus) di permukaaan air

                                                                                                                                 Sumber : Untung et.al.,1996
            Tabel 3 diatas menunjukkan kelas kualitas air yang meningkat nilainya dengan bertambahnya beban pencemar organik. Kelas tersebut dapat diartikan pula sebagai tingkat kepekaan makrozoobenthos terhadap kadar zat pencemar organik. Cara penilaian kualitas air dengan menggunakan table diatas dilakukan dengan ketentuan berikut (Untung., et al,1996 dalam Kadim, 2017) :
1.      air sungai akan tergolong kelas 1, jika dan hanya terdapat makrozoobenthos Tricoptera berselubung (cased) atau Planaria; tanpa kehadiran jenis makrozoobenthos indikator yang terdapat pada kelas 2-6
2.      Air sungai akan tergolong sebagai kelas 2, 3, 4, 5, dan 6 apabila terdapat salah satu atau campuran jenis makrozoobenthos yang terdapat dalam kelompok kelas masing – masing.
3.      Apabila makrozoobenthos terdiri atas campuran antara antara indikator dari kelas – kelas yang berlainan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :
-          Air sungai dikategorikan sebagai kelas 2 apabila terdapat campuran indikator kelas 1 dan kelas 2, atau dari kelas 1, 2, 3.
-          Air sungai dikategorikan sebagai kelas 3 apabila terdapat campuran indikator dari kelas 2 dan 3, atau dari kelas 2, 3, dan 4.
-          Air sungai dikategorikan sebagai kelas 4, apabila terdapat campuran indikator dari kelas 3 dan 4 atau dari kelas 3, 4, dan 5.
B. Alasan Menggunakan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator
            Menurut Trihadiningrum (2007), adapun alasan memilih makrozoobentos sebagai berikut :
1.      Mudah dalam sampling dibandingkan dengan jenis organisme akuatik yang lain.
2.      Cenderung menetap / tidak berpindah tempat meskipun terjadi perubahan kualitas air.
3.      Masa hidupnya cukup panjang untuk merekam kualitas air habitatnya.
4.      Sangat heterogen, karena terdiri atas berbagai taksa yang dapat memberikan reaksi atau respon yang berbeda pada kualitas air yang berbeda.
5.      Berbagai taksa memiliki kepekaan yang berbeda dan sangat reaktif terhadap berbagai jenis polutan.
6.      Relatif mudah di Identifikasi dibandingkan jenis organisme akuatik lainnya.



2.4  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Makrozoobentos
Struktur komunitas makrozoobentos dipengaruhi berbagai factor lingkungan abiotik dan biotik. Secara skematis, Hawkes (1979) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi keberadaan hewan bentos di perairan. Sembilan diantaranya merupakan faktor penentu kualitas perairan.
Tabel 3 Hubungan antara beberapa parameter fisika kimia air dengan kehidupan
makrozoobentos
Parameter
Penagaruh Terhadap Makrozoobentos
Parameter Fisika

Suhu
Metabolisme, pertumbuhan dan mortalitas, migrasi
Arus
Jenis dan sifat organisme
Substrat dasar
Jumlah dan Jenis
Muatan tersuspensi
Respirasi
Kekeruhan, TSS
Jumlah, Jenis dan sifat organisme
Kedalaman
Jumlah jenis, jumlah individu, biomassa
Pasang-Surut
Pola penyebaran
Parameter Kimia

Oksigen terlarut (DO)
Jumlah, jenis dan mortalitas
pH
Menurunkan daya tahan terhadap stress
BOD
Jumlah, Jenis, komposisi jenis dan mortalitas
Amonia-N
Laju mortalitas
DHL
Stress fisiologis
Salinitas
Distribusi spesies
                                                                                      Sumber : Nybakken (1988).





2.4.1 Parameter Fisika
A. Suhu
Suhu merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme seperti pertumbuhan dan reproduksi dan penyebarannya. Suhu dapat berperan sebagai faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup dalam mengatur proses fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, garis lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, aliran serta kedalaman dari badan air. Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas, proses penyerapan cahaya berlangsung lebih intensif pada lapisan sebelah atas perairan sehingga lapisan ini akan lebih panas dan mempunyai densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawahnya (Effendi 2000).
Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 10oC suhu perairan akan meningkatkan konsumsi oleh organisme akuatik 2-3 kali lipat (Effendi 2000). Suhu yang layak untuk kehidupan organisme air tawar berkisar antara 20 – 30oC dengan suhu optimum berkisar antara 25 – 28oC (Huet dan Timmermans 1971,diacu dalam Iskandar 2002), dimana suhu yang tidak lebih dari 30oC tidak akan berpengaruh drastis terhadap makrozoobentos. Menurut Welch (1980) menyatakan bahwa pada suhu antara 35 – 40oC merupakan lethal temperature bagi makrozoobentos, artinya pada suhu tersebut organisme bentos telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.
B. Kecepatan Arus
Arus adalah massa air permukaan yang selalu bergerak, gerakan ini terutama ditimbulkan oleh angin yang bertiup di atas permukaan air (Nybakken 1988). Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi kehidupan akuatik terutama organisme bentos.
Menurut Nybakken (1988) organisme akuatik yang hidup menetap pada suatu substrat membutuhkan arus yang dapat membawa makanan, oksigen, dan lain sebagainya. Arus yang kuat dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar perairan berpasir atau berlumpur. Pergerakan air yan cukup lambat di daerah berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus mengendap dan detritus melimpah, hal ini merupakan media yang tidak baik bagi pemakan deposit (deposit feeder) tapi pergerakan air pada daerah berpasir cenderung tidak ada sehingga fauna yang memanfaatkan daerah seperti ini adalah filter feeder. Pada air mengalir terdapat dua zona utama yaitu zona air deras dan zona air tenang. Zona air deras merupakan daerah dangkal dengan arus yang deras yang menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan. Zona ini dihuni oleh bentos yang dapat melekat kuat pada dasar substrat sedangkan zona air tenang merupakan bagian perairan yang dalam dengan arus yang lambat, biasanya ada endapan lumpur yang menyebabkan dasarnya lunak (Odum 1993).
Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobentos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Menurut Welch (1980), arus mempengaruhi transport sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat batu, pasir, liat, ataupun debu. Sungai dengan arus yang cepat, substrat dasarnya terdiri dari batuan dan kerikil sedangkan sungai dengan arus air yang lambat substrat dasarnya terdiri dari pasir atau lumpur.
Berdasarkan kecepatan arusnya Macon 1974, diacu dalam Welch (1980) mengelompokkan sungai menjadi sungai berarus sangat cepat (> 1 m/detik), arus cepat (0,5 – 1 m/detik), arus sedang (0,25 – 0,5 m/detik), arus lambat (0,1 – 0,25 m/detik) dan sungai berarus sangat lambat ( 0,1 m/detik).
C. Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan yang diungkapkan dalam satuan meter sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi (Effendi 2000).
Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat hubunganya dengan fotosintesis. Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsungnya proses fotosintesis oleh fitoplankton dengan baik. Kondisi perairan yang kecerahannya rendah dan kecerahannya yang terlalu tinggi akan menurunkan kelimpahan zoobentos (Goldman & Horne 1984).
D. Kedalaman
Perairan dangkal cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di dasar suatu perairan.
E. Substrat
Substrat didefinisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir dan liat dalam tanah. Odum (1971) menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran makrozoobentos yaitu substrat perairan seperti lumpur, pasir, tanah liat, berpasir kerikil, dan batu, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi jenis kepadatan dan pola sebaran makrozoobentos.
Pengendapan partikel tergantung dari arus, apabila arus ditempat tersebut kuat maka partikel yang mengendap berukuran besar, tetapi jika arusnya lemah maka yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasanya terdapat di muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari dekomposisi organisme yang masuk ke sungai.
Substrat yang kaya bahan organik dapat melimpahkan hewan bentos yang di dominasi oleh deposit feeder. Karakter substrat suatu perairan sangat menentukan keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut. Dasar berupa batuan-batuan di dominasi oleh makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Dasar yang lunak dan selalu berubah-ubah biasanya membatasi makrozoobentos untuk
berlindung.
Menurut Odum (1993), Pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada arus air jika arus air kuat, partikel yang mengendap berukuran besar dan jika arus air tidak kuat, partikel yang mengendap akan memiliki ukuran yang lebih kecil.
F. Total Padatan Tersuspensi
Padatan tersuspensi total atau total suspended solid (TSS) adalah bahan - bahan tersuspensi (diameter 1 μm) yang tertahan pada kertas saring Millipore dengan ukuran diameter pori-pori 0,45 μm. Tinggi rendahnya TSS akan berpengaruh pada tingkat kekeruhan (APHA 1989). Penyebab nilai TSS yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang lumpur, pasir halus dan jasadjasad renik (Effendi 2000). kondisi tersebut terjadi pada musim penghujan, dimana danau atau sungai mengalami limpahan air hujan.
Effendi (2000) menyatakan bahwa padatan tersuspensi dan penetrasi cahaya ke dalam perairan sangat mempengaruhi kebiasaan hidup zooplankton. Apabila jumlah dan ukuran partikel yang tersuspensi cukup besar dan aliran air tidak terlalu deras, maka partikel-partikel tersebut akan mengendap di dasar perairan. Sedimentasi yang terjadi akan melapisi substrat tempat hidup makrozoobentos sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya menurun (Hawkes 1979). Nilai kekeruhan yang masih memenuhi kehidupan biota air yang diinginkan adalah tidak lebih dari 100 mg/l (Fardiaz 1992).

2.4.2 Parameter Kimia
A. Derajat keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh air dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan berdampak langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta menentukan reaksi kimia yang akan terjadi. Nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan karbondioksida yang merupakan hasil respirasi, karbondioksida inilah yang akan membentuk buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1973).
Makrozoobentos memiliki kisaran toleransi terhadap pH yang berbedabeda, seperti Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH diatas 7. Bivalvia di dapatkan pada kisaran pH yang lebih lebar yaitu 5,6 – 8,3. Dalam kelompok Insecta, Coleoptera mewakili taksa dengan kisaran pH yang lebar. Sebagian besar famili Chironomidae mewakili kelompok serangga terdapat pada pH diatas 8,5 dan dibawah pH 4,5 (Hawkes 1979).



B. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut atau Dissolved oxygen (DO) merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Selanjutnya APHA (1989) menyatakan bahwa oksigen terlarut di dalam air berasal dari hasil fotositesis fitoplankton atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Oksigen terlarut digunakan dalam penghancuran bahan organik dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut dalam tingkat konsentrasi tertentu banyak jenis organisme perairan tidak dapat bertahan hidup. Oksigen terlarut sangat penting untuk menunjang kehidupan organisme air, khususnya makrozoobentos dalam proses respirasi dan dekomposisi bahan organik.
C.    Kebutuhan Oksigen Biokimiawi
Kebutuhan oksigen biokimawi atau biochemical oxygen demand (BOD) merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air. Nilai BOD umumnya digunakan sebagai bioindikator kelimpahan bahan organik dalam air. Aktivitas mikroorganisme yang tinggi mengakibatkan semakin besar nilai BOD untuk menguraikan bahan organik. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya menunjukkan secara relatif oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992).
Menurut Effendi (2000) bahwa BOD berpengaruh terhadap kondisi zooplankton pada perairan, hal ini dimungkinkan karena adanya bahan organik yang diuraikan oleh mikroba aerob yang memerlukan oksigen sebagai makanan alami zooplankton dan makrozoobentos. Semakin banyak bahan organik dalam perairan maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik di suatu perairan.
D.    Kebutuhan Oksigen Kimia
Menurut APHA (1989), Chemical oxygen demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang terdapat di perairan menjadi CO2 dan H2O dengan menggunakan oksidator kuat. COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimia. Secara umum nilai COD dalam air limbah lebih besar daripada nilai BOD karena lebih banyak materi yang dapat dioksidasi secara kimia daripada secara biologis (Tchobanoglous & Burton 1991).
E.     Amonia dan Nitrat
Nitrogen di perairan dapat berbentuk gas nitrogen (N2), amonia tidak terionisasi (NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO3-) dan senyawa bentuk lain yang berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri (Goldman & Horne 1983), Di perairan alami sungai konsentrasi amonia cenderung rendah antara 7 – 60 μg N/l, Wetzel (2001) juga menambahkan bahwa pada perairan sungai umumnya konsentrasi nitrat berkisar antara, 25 μg N/l pada lingkungan sub artik hingga amazon pada 2000 μg N/l sungai temperate. Nitrat dan nitrogen dengan konsentrasi tinggi ditemukan di perairan sungai dekat daerah pertanian. Rata-rata NO3-N di perairan sungai alami mendekati 1000 μg N/l.
Amonia di perairan dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh bakteri, kegiatan pemupukan, dan ekskresi-ekskeresi organisme-organisme yang ada didalamnya. Setiap amonia yang dibebaskan ke suatu lingkungan akan membentuk reaksi keseimbangan dengan ion ammonium (NH4+). Amonia ini yang kemudian mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrat. Nilai ammonia memiliki hubungan dengan nilai pH perairan yaitu makin tinggi pH maka makin besar kandungan amonia (Wardoyo 1975).

2.5  Pengelolaan Sungai Dengan Menggunakan Makrozoobentos
Di dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Oleh sebab itu pemanfaatan dan pemeliharaan sungai dan alur sungai merupakan bagian dari pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan alur sungai tersebut tidak sesuai dengan perundangan yang berlaku (Darmanto Dan Darmadji, 2013).
Saat ini pemerintah Indonesia lebih cenderung melakukan pemantauan terhadap kualitas air sungai dengan mengandalkan pendekatan fisika – kimia, sedangkan pendekatan biologi masih sangat jarang. Pemantauan secara fisika kimiawi secara umum hanya mencerminkan kondisi pada waktu pengambilan sampel karena tidak mencerminkan kondisi yang telah lalu padahal masuknya polutan di perairan berlangsung terus – menerus (Sudaryanti, 2003).
Pada lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas makrozoobentos dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi perairan. Komunitas organisme yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menduga kualitas perairan tempat organisme itu berada umumnya ialah makrozoobenthos. Hal ini dikarenakan hewan ini hidupnya bersifat relatif menetap, pergerakan yang rendah, serta kemampuannya untuk mengakumulasi bahan pencemar di dalam tubuhnya. Pendekatan kualitas perairan sungai dengan melihat struktur organisme dalam hal ini makrozoobenthos yang ada di sungai dikenal sebagai pendekatan secara biologi (Anzani, 2012)
Penggunaan komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas perairan sungai sudah umum digunakan pada beberapa penelitian, diantaranya :
1.      Penelitian yang berjudul Penggunaan Makrozoobentos Sebagai Indikator Status Perairan Hulu Sungai Cisadane, Bogor yang dilakukan oleh Rahayu, dkk (2015). Pada lokasi penelitian tersebut ditemukan Makrozoobentos yaitu Baetidae, sebanyak 171 ind/m2, Simulidae, sebanyak 101 ind/m2, Hydropsyhidae sebanyak 50 ind/m2, dan Chironomidae sebanyak 28 ind/m2, dengan kelimpahan tertinggi adalah Bungona dan Simulium . Pengelompokkan makrozoobentos berdasarkan feeding groups didominasi oleh filtering collector dan gatherer collector. Filtering collector maupun gatherer collector tersebut memanfaatkan bahan organik yang terlarut dalam perairan, hal ini menunjukkan bahwa stasiun-stasiun pengamatan mengalami pencemaran bahan organik. Status perairan di Hulu Sungai Cisadane berdasarkan Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat Hg, menunjukkan tercemar ringan, berdasarkan Indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera) menunjukkan baik-tercemar sedang, sedangkan Indeks Signal, menunjukkan tercemar ringan-tercemar sedang.
2.      Penelitian yang berjudul Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten yang dilakukan oleh Anzani (2012). Hasil yang didapatkan dari penelitian yang berlokasi di Sungai Ciambulawung yaitu ditemukan Makrozoobenthos yang terdiri dari 30 genus dari 27 famili, dengan komposisi terbesar ditemukan dari ordo Diptera yaitu famili Chironomidae. Analisis data pada indeks Biologi yang digunakan diantaranya: Indeks LQI, FBI, SIGNAL 2 dan EPT. Bedasarkan keempat indeks biologi yang digunakan, indeks LQI (Lincoln Quality Index) dan SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level) yang paling sesuai dengan hasil indeks pencemaran dan storet yang menggunakan parameter fisika kimia perairan. Hasil dari indeks tersebut menunjukkan bahwa sungai pada stasiun 1 dan 2 kualitas perairanya baik dan stasiun 3 sangat baik.
3.      Penelitian yang berjudul Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi oleh Setiawan (2008). Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya beberapa spesies makrozoobentos yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas perairan Sungai Musi bagian hilir yaitu indikator pencemar berat : Tubifex sp, Lumbriculus sp, Nereis sp dan Chironomous sp, indikator pencemaran ringan sampai sedang yaitu jenis Hydropsche sp serta indikator pencemar ringan dan pemulihan air bersih yaitu Gammarus sp. Sehingga dari hasil penelitian dapat direkomendasikan kepada pemerintah setempat sehubungan menurunnya kualitas Sungai Musi bagian hilir di beberapa stasiun penelitian terutama stasiun yang berada di dalam kawasan kota dan industri mulai stasiun Musi Kramasan sampai dengan stasiun Hoktong perlu adanya pengelolaan dan pemantauan kualitas air sungai secara periodik dan berkesinambungan berdasarkan informasi hasil penelitian yang didapat.
4.      Penelitian yang berjudul Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Dalam Menentukan Kualitas Air Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, oleh Marmita, dkk (2013). Pada penelitian yang berlokasi di Sungai Ranoyapo ini ditemukan Makrozoobentos yang terdiri dari 3 Filum, 5 Kelas, 13 Bangsa, 21 Suku, dan 23 Marga. Indeks keanekaragaman makrozoobentos dari Stasiun I (hulu), Stasiun II (tengah) dan Stasiun III (hilir) yaitu 2,43; 2,06; dan 1,77. Kualitas air Sungai Ranoyapo di Stasiun I dan di Stasiun II telah tercemar ringan dengan indeks 2,0 – 3,0 (H’>2). Kualitas air Sungai Ranoyapo di Stasiun III telah tercemar sedang dengan indeks H’ sekitar 1,0 – 2,0 (H’ <2). Makrozoobentos yang dapat digunakan sebagai indikator biologis untuk pencemaran ringan yaitu Ephemenoptera dan Plecoptera di Stasiun I dan II, dan untuk pencemaran sedang yaitu Gastropoda di Stasiun III. Pencemaran tersebut diduga karena Limbah pertanian, perkebunan, permukiman penduduk, dan industri, mengingat aliran Sungai Ranoyapo melintasi kawasan pertanian, perkebunan, permukiman penduduk, dan industri. Dan dari kawasan tersebut mempengaruhi kualitas air Sungai Ranoyapo.
5.      Penelitian yang berjudul Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis dalam Menentukan Kualitas Air Sungai Suhuyon Sulawesi Utara oleh Nangin, dkk (2015). Makrozoobentos yang ditemukan pada penelitian ini yang berlokasi di Sungai Suhuyon yaitu terdiri dari 3 filum, 4 kelas, 10 bangsa, 21 suku dan 22 marga. Berdasarkan indeks keanekaragaman makrozoobentos (H’) kualitas air sungai Suhuyon termasuk ke dalam kelompok perairan tercemar sedang. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 air pada Sungai Suhuyon tidak dapat digunakan sebagai air minum (Baku mutu Air Kelas 1). Air pada sungai Suhuyon hanya dapat digunakan dalam sistem pengairan, budidaya ikan air tawar dan sarana rekreasi air.
6.      Penelitian yang berjudul Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi Dari Kualitas Air Di Sungai Kumpeh Dan Danau Arang-Arang Kabupaten Muaro Jambi, Jambi oleh Asra (2009). Hasil dari penelitian tersebut yaitu Sungai Kumpeh dan Danau Arang-arang diklasifikasikan tercemar sedang (moderately polluted) dimana Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos untuk ke dua lokasi tersebut berkisar antara 1,0 – 1,5. Untuk sungai Kumpeh nilai Indeks Keanekaragamannya 1,21 dan Danau Arang-arang 1,19 dan 1,33. Keberadaan dari spesies indikator seperti Chironomus sp., Scatella sp., dan Branchiura sowerbyi juga mengindikasikan bahwa kedua perairan tersebut tercemar. Pada sungai Kumpeh limbah berasal dari limbah rumah tangga penduduk mengalir ke sungai tersebut, hal ini menyebabkan kandungan bahan organik/bahan pencemar lainnya pada sungai tersebut tinggi. Sedangkan penyebab tercemarnya danau Arang - arang dikarenakan adanya aktifitas perkebunan kelapa sawit oleh beberapa perusahaan dalam skala besar di sekitar danau tersebut. Kegiatan pembukaan lahan menyebabkan terbawanya bahan padatan terlarut (suspended solid)  sebagai produk proses erosi pada saat hujan turun.
7.      Penelitian yang berjudul Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perubahan Kualitas Perairan Di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang oleh Fadillah, dkk (2015). Struktur komunitas makrozoobentos di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu terdiri dari 9 jenis yaitu Brotia testudinaria, Elimia acuta, Lymnaea rubiginosa, Neoephemera sp, Melanoides granifera, Pomacea canaliculata, Tarebia granifera, Thiara rufis dan Thiara scabra. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0,72 – 0,78 dan nilai indeks dominansi berkisar antara 0,24 – 0,25. Kualitas air Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu berdasarkan indeks keanekaragaman (H’) berkisar antara 1,29 – 1,51 yang menunjukkan kondisi perairan tercemar sedang sedangkan berdasarkan analisis kurva ABC menunjukkan kondisi perairan tidak tercemar – tercemar sedang. Rekomendasi pengelolaan yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya pencemaran di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu adalah :  Perlu Adanya koordinasi dan sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran air, Menentukan lokasi-lokasi kritis yang terkena dampak karena berlangsungnya aktivitas di sungai sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien,  Pemantauan kualitas air secara berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menganalisis kondisi sebelum dan sesudah terjadi perubahan kualitas air Sungai Belawan.
8.      Penelitian yang berjudul Zonasi Habitat Sungai Umbulrejo Di Kecamatan Dampit Kabupaten Malang Berdasarkan Makrozoobenthos Oleh Kadim (2017). Hasil penelitian tersebut yaitu ditemukannya Komunitas Makrozoobentos di Sungai Umbulrejo sebanyak 70 taksa dimana beberapa taksa yang dapat dijadikan sebagai indikator kondisi kualitas air sungai. Struktur komunitas makrozoobentos Sungai Umbulrejo membagi sungai tersebut menjadi 2 kelompok kategori tercemar sedang, dimana Makrozoobentos yang ditemukan diantaranya : Glossosomatidae, Thiaridae, Sundathelpusidae, Perlidae, dan Tuficidae dan tercemar agak berat, dimana Makrozoobentos yang ditemukan, daintaranya : Caenidae, Chirnomidae, Simulidae, Tubificidae, dan Hirudinea. Daerah Sungai Umbulrejo yang masuk kategori tercemar sedang merupakan daerah yang tata guna lahannya adalah pertanian, aktivitas MCK dan Kolam Pemandian. Sedangkan daerah Sungai yang masuk kategori tercemar agak berat merupakan daerah yang tata guna lahannya didominasi lahan pertanian dan daerah pemukiman. Ditemukannnya makrozoobentos indikator pencemaran (bahan organik) di Sungai Umbulrejo mengindikasikan status perairan di sungai tersebut telah mengalami pencemaran khususnya diakibatkan oleh aktivitas pertanian. Oleh karena itu diharapkan pemerintah Desa Pamotan atau khususnya dari Dinas Pertanian melakukan sosialisasi pada petani di Desa Pamotan, misalnya dengan menyarankan petani setempat untuk lebih menggunakan pupuk organic dan membatasin penggunaan pupuk anorganik (penerapan pupuk anorganik dengan dosis yang tepat).
Dari beberapa penelitian mengenai Penggunaan Makrozoobentos sebagai Bioindikator diatas dapat dikatakan bahwa struktur komunitas Makrozoobentos sangat berkaitan dengan tingkat pencemaran pada perairan tersebut. Keanekaragaman makrozoobentos dirasakan sangat penting karena dapat memberikan informasi status kualitas air sungai apakah sudah atau belum tercemar. Dengan menggunakan analisis data seperti Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, Indeks Dominansi , Indeks Biologi (LQI, SIGNAL 2, EPT, FBI) , CANOCO,  ANOVA dan lain sebagainya, kita dapat mengetahui komposisi jenis Makrozoobentos serta buku Identifikasi yang berguna dalam pengelompokkan Makrozoobentos berdasarkan golongan / kelasnya.
Hasil dari penelitian yang didapatkan di lapangan, kemudian direkomendasikan kepada pemerintah setempat. Apabila terjadi penurunan kualitas air pada sungai tersebut perlu dilakukannya koordinasi dan sosialisasi dari Pemerintah kepada Masyarakat setempat, sehingga akan terciptanya suatu kebijakan  tentang pengelolaan dan pemantauan kualitas air sungai secara berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menganalisis kondisi sebelum dan sesudah terjadi perubahan kualitas air. Selain itu perlu dilakukannya penentuan lokasi-lokasi kritis yang terkena dampak karena berlangsungnya aktivitas di sungai sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. Penentuan status kualitas air Sungai sangat diperlukan dalam upaya untuk memelihara dan menjaga kesehatan lingkungan serta pengelolaannya bagi kesejahteraan masyarakat setempat maupun untuk keberlanjutan kehidupan biota yang mendiami sungai tersebut.













BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Indikator Biologis atau Bioindikator yang cocok untuk memantau status kualitas perairan sungai adalah Makrozoobentos. Komposisi dan struktur komunitas Makrozoobentos yang hidup dan dominan dalam sungai dengan kepekaan yang berbeda – beda terhadap perubahan kualitas air yang terjadi di dalam sungai tersebut.

3.2  Saran
Perlu dilakukannya pengkajian yang lebih tentang Pengelolaan sungai dengan menggunakan Makrozoobentos sebagai Bioindikator seiring dengan meningkatnya pencemaran di sungai – sungai yang ada di Indonesia, dan perlu dilakukannya penerapan hukum yang tegas bagi masyarakat yang membuang sampah ke sungai.







DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 1989. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water. Ed ke-17. Washington D.C : APHA.

Anzani, Yunita Magrima. 2012. Skripsi : Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten. Bogor : Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

Asra, Revis. 2009. Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi Dari Kualitas Air Di Sungai Kumpeh Dan Danau Arang – Arang Kabupaten Muaro Jambi, Jambi : Jurnal Biospesies Volume 2 No.1 Hlm 23 - 25

Basmi J. 1999. Ekosistem Perairan : Habitat dan Biota. Bogor: Fakultas Perikanan      dan Ilmu Kelautan. IPB

Cummins K. 1975. Macroinvertebrates. Di dalam : B.A. Whitton, editor. River Ecology. Merlbourne: Blackwell Scientific Publications. Oxford. Edinburg. Hlm 170-189.

Dennis B, Patil GD. 1977. The Use of Community Diversity Indices for Monitoring Trends in Water Pollution Impact. Tropical Ecology 18 : 36-51.

Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan Perairan. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

Fadilah, Nurul., P. Pratana, M. Dalimaunthe. 2015. Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perubahan Kualitas Perairan Di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.  Medan : Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Sumatera Utara

Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara

Fardiaz S. 1992. Polusi air dan Udara. Yogyakarta : Kanasius Goldman, C, R. and A. J. Horne. 1983. Limnology. Mc Graw Hill. Intenational Book Company. New York.

Goldman CR, Horne AJ. 1984. Limnology. International Student Edition. Auckland:
McGraw-Hill International Book Company.

Hawkes HA. 1979. Invertebrates as Indicator of River Water Quality. In : Jamers A. and Evision L, editor. Biological Indicator of Water Quality. Toronto Canada: John Willey and Sons.

Hordkinson ID, Jackson JK. 2005. Terrestrial and Aquatic Invertebrates as Bioindicators for Environmental Monitoring, with Particular Reference to Mountain Ecosystems. Environ Manag Vol. 35 (5) : 649–666. Continum   Concept. USA: Can J Fish Aquat. Sci. 37 : 130-137

Hornby D, Bateman GL. 1996. Potential Use of Plant Root pathogens as Bioindicator of Soil Health. Di dalam : Pankhurst CE, Doube BM, Gupta  VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. Oxon : CABI .179-200.

Huet M, Timmermans JA. 1971. Teks Books of Fish Cultur Breeding and Cultivation of Fish. London: Fishing News (Books).

Iskandar. 2002. Struktur Komunitas Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan di Situ Tonjong. Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor.

Izmiarti dan Dahelmi. 1999. Makroinvertebrata Sungai di Hutan Pendidikan Dan Penelitian Biologi (HPPB) dan Kolonisasinya Pada Substrat Buatan. Laporan Penelitian Dosen Muda. Direktorat Pembinaan Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departement Pendidikan dan Kebudayaan.

Jeffries M, Mills D. 1996. Freshwater Ecology. Principles and applications. Chichester England: Jhon Wiley and Sons, UK

Lind, O. T. 1979. Hand Book of Common Method in Limnology. CV. Mosby. St.Louis, Toronto. London

Kadim, Miftahul Khair. 2017. Komunitas Makrozoobentos. Yogyakarta : Zahir Publishing.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV.   Rajawali. Jakarta.

Marmita, Rifgah., R. Siahaan., R. Komeri., M. L. Langoy. 2013. Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Dalam Menentukan Kualitas Air Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara : Jurnal Ilmiah Sains Vol 13 No.1

Maryono, A. 2005. Ecological Hydraulics of River Development. Edisi Kedua.  Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.


McGeoch MA. 1998. The Selection, Testing, and Application of Terrestrial Insect as Bioindicator. Biol Rev 73 : 181-201.

Mhatre GN, Pankhurst CE. 1996. Bioindicator to Detect Contamination of Soil with Special Reference to Heavy Metals. Di dalam : Pankhurst CE, Doube  BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. Oxon CABI. p349-370.

Nangin, Sernando. R., M.L. Lengoy., D. Y. Katili. 2015. Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologis Dalam Menentukan Kualitas Air Sungai Suhuyon, Sulawesi Utara : Jurnal MIPA UNSRAT Online 4 (2) Hlm 165-168

Nybakken JW. 1988, 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. M. Eideman, Koesbiono, dan DG Bengen, Penerjemah; Jakarta: P.T. Gramedia. Terjemahan dari : Marine Biological : An Ecological Approach.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Ed ke-3. Philadelphia: W.B Saunders Co.

Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Tjahjono Samingan, Penerjemah;Yogyakarta: Ed ke-3. Universitas Gadjah Mada. Terjemahan dari : Fundamental of Ecology.

Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ogbeibu, A. E and B.J. Oribhabor. 2002. Ecological impact of river impoundment using benthic macroinvertebrates as indicator. Journal Water Research 36:2427 – 2436.

Pescod NB. 1973. Investigation of Inland Water and Estuaries. New York: Reinhold Pubilshing Corporation.

Rahayu, Dyah Muji., G.P Yoga, H. Effendi, Y. Widianto. 2015. Penggunaan Makrozoobentos Sebagai Indikator Status Perairan Hulu Sungai Cisadane, Bogor : Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) vol. 20 (1) : 1 – 8.

Sastrawijaya T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Setiawan, Doni. 2008. Tesis : Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi . Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Setyobudiandi I. 1997. Makrozoobentos (Definisi, Pengambilan Contoh dan Penanganannya). Bogor: Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK. IPB.

Straalen NH Van. 1996. Community Structure of Soil Antropods as Bioindicator of soil health. Di dalam : Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. Oxon : CABI.325-347.

Sudarso Y. 2003. Pendugaan Status Kesehatan Sungai dengan Menggunakan Indikator Makrozoobentos. Bogor: IPB.

Sudaryanti, S. 2003. Pengembangan Bioassesment Kualitas Air Sungai. Rimgkasan Laporan Akhir. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Jawa Timur Bekerja sama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya. Malang

Susanto, H. dan A. Rochdianto. 2008. Kiat Budi Daya Ikan Mas Dilahan Kritis.  Penebar Swadaya Depok. Jakarta.

Tchobanoglous G, Burton FL. 1991. Wastewater Engineering : Treatment. Disposal and Re use. Ed ke-3. New York: McGraw-Hill.

Trihadiningrum, Y.2007. Kajian Aplikasi Bioassesment untuk Penilaian Kualitas Sungai di Indonesia. Disampaikan pada Diskusi Ilmiah Terbata “Development of Bioassesment System for River Water Quality” bekerjasama dengan BPLHD Provinsi Jawa Barat dengan SITH-ITB.

Untung, K., S. Noegrahati, S. D Tanjung, B. V. Romer-Seel, B. Widyantoro, S.S. Brahmana, S.Sudaryanti, T. Sudibyaningsih dan Y.Trihardiningrum.1996. Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Periaran Tawar. Hasil Perumusan Kelompok I  Rapat Kerja Temu Pakar Bioindikator LAKFIP-UGM. Yogyakarta. 1-2 Maret.

Vannote RL, Minshall GW, Cummin KW, Sedel JR, Cushing CE. 1980. The River

Vernberg WB, Thurbwerg FP, Calabrese A, Vernberg FJ. 1981. Marine Pollution : Functional Responses. London: Academic Press Inc.

Wardoyo. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Welch EB. 1980. Ecological Effect of Wastewater. Cambridge University Press. Cambridge. London: New York New Rochelle.

Wetzel RG. 2001. Limnology: Lake and River Ecosystem. San Diego California.USA: Academic press.

Wilhm JF. 1975. Biological Indicator of Pollution. Di dalam : Whitton BA, editor. River Ecology. London: Blackwell Scientific Publications. Oxford. 370- 402 .